Banjir yang melanda hampir seluruh wilayah di Jawa Barat menimbulkan fenomena menarik yaitu tidak naiknya harga daging sapi. Di saat beberapa harga kebutuhan pokok meningkat dikarenakan distribusi yang terhambat akibat air yang menggenang di beberapa wilayah Jabar, daging sapi tidak mengikuti jejak mereka. Hal itu disebabkan membanjirnya daging sapi impor di pasar-pasar, khususnya di Kota Bandung.
Meski begitu, dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf mengeluhkan fenomena tersebut. Ia menilai, membanjirnya daging impor membuat para peternak lokal tergerus.
“Seharusnya dengan kondisi begini, harga naik, karena suplai turun. Kenyataannya, harga tetap stabil. Ini karena pemerintah membebaskan impor tanpa ketentuan,” ujarnya di Rumah Makan Sindang Reret, Jalan Surapati, Sabtu (25/1/2014).
Ia memandang, bila hal ini dibiarkan akan berbahaya, karena produksi lokal akan semakin terhimpit akibat banyaknya daging impor yang beredar di pasar-pasar seluruh wilayah Jabar. Kalau harga dipukul, sambungnya, petani yang akan terkena imbasnya dan tidak memiliki gairah untuk mengembangbiakkan sapi lokal.
“Inti ketersediaan daging adalah pengembangan bibit. Dari dulu bibit bebas. Seharusnya BUMN yang membuat, karena itu tanggung jawab pemerintah. Peternak rakyat 90 persen yang pure membuat bibit peternakan di feedlock itu untungnya banyak,” urai Rochadi.
Menyimak fenomena ini, anggota Dewan Pakar Forum Ekonomi Jabar ini menyebut, konsumen lebih diuntungkan, karena dapat memilih produk dengan kualitas dan harga tertentu. Bila dibiarkan, terang Rochadi, Indonesia hanya akan berfungsi sebagai konsumen semata. “Dengan kata lain, rakyat akan membuang devisa sekitar 1 juta ekor sapi dan 150 ribu ton daging atau senilai Rp 12 triliun,” ucapnya.
Rochadi memaparkan solusi untuk mengatasi masalah ini, yakni dengan pembenahan kampung bibit yang diawali dengan mengimplementasi peraturan dan kebijakan yang dibuat secara konsisten. Selain itu, pemberdayaan kelembagaan peternak dan korporasi merupakan hal mendasar.
Pemerintah juga harus mengamankan bibit dasar sekira 5% dari total populasi ternak sapi. Bila populasi nasional sebesar 16 juta ekor, imbuh Rochadi, maka daerah, khususnya Jabar, harus menguasai 600 ribu. Kebijakan ini didukung pula peraturan sesuai UU No 18/2009 tentang pemotongan sapi betina produktif dan pembiayaan melalu dana CSR atau perbankan dengan kredit program.
“Mahal bibit. Maka itu, harus dimiliki pemerintah. Bibit sebar ini dimitrakan dengan kelompok peternak atau koperasi sebagai bibit sebar,” tandasnya. (VIL)