Kasus Perceraian Kian Marak, Begini Cara Menanganinya

Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan

JABARTODAY.COM – BANDUNG Maraknya kasus perceraian di sejumlah daerah di Jawa Barat, menjadi sorotan. Terutama di daerah-daerah dengan populasi yang besar, seperti di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.

Pengadilan Agama Bandung mencatat pada Juni angka cerai talak dan cerai gugat lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lainnya di tahun 2020 ini. Untuk cerai gugat mencapai 593 dan cerai talak 170, sedangkan bulan sebelumnya angka cerai talak dan cerai gugat dibawah angka 500.

Angka perceraian di Kota Bandung selama kurun waktu tahun 2020 yang mencapai 3.678 kasus, bila dibandingkan dengan perceraian di Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung 5.262 perkara contentius dan 463 voluntair dengan jumlah mencapai 5.825 kasus, sebetulnya lebih rendah.

Namun yang menarik di Kota Bandung adalah kasus cekcok dalam rumah tangga menjadi faktor utama perceraian. Dalam kurun waktu hingga Agustus, Pengadilan Agama Bandung mencatat sebanyak 1.310 perceraian.

Lain halnya kasus perceraian di Kabupaten Bandung. Dengan wilayahnya yang lebih luas, rata-rata perceraian terjadi karena masalah ekonomi dan menimpa kalangan ekonomi menengah kebawah.

Berita Terkait

Sementara di kota Bandung, faktor ekonomi menjadi penyebab kedua angka perceraian, yaitu 1.325 kasus. Perceraian pun paling banyak terjadi pada rentan usia 31-40 tahun, yakni sebanyak 1.600 kasus.

Mencermati kian maraknya kasus perceraian, Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan mengungkapkan, dari kasus-kasus perceraian yang terjadi, bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi karena terdampak pandemi, tetapi juga karena kualitas pembinaan pendidikan pra-nikah yang perlu ditingkatkan. Secara garis besar, imbuhnya, penyebab terbanyak perceraian adalah faktor ekonomi, yang salah satunya mendorong keretakan di dalam keluarga.

“Pandemi tak dipungkiri membawa dampak pada merosotnya ekonomi keluarga. Tapi, hal ini kemudian kita tidak bisa berasumsi pada meningkatnya jumlah gugatan cerai di Pengadilan Agama. Pembinaan pra-nikah yang baik tak dapat dikesampingkan. Bila bekalnya sudah cukup, seberat apapun masalah pasangan dalam rumah tangga, pasti mampu diselesaikan,” kata Tedy, saat dihubungi, Jumat (28/8/2020).

Terhadap fenomena tersebut, dia berpesan agar masyarakat menguatkan ketahanan keluarga. Salah satu cara untuk menguatkan ketahanan itu, adalah memerkuat sisi agama dalam kehidupan berumah tangga. Pemberian pemahaman pra-nikah, bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dari pemerintah melalui kantor urusan agama (KUA), tetapi juga menjadi urusan bersama, termasuk lingkungan keluarga masing-masing, sebelum pasangan melangsungkan akad pernikahan.

“Pembinaan dan pendidikan pra-nikah, seperti parenting dan program lainnya harus didorong dibarengi aspek relijius yang juga merupakan faktor penting agar kita bisa mengambil sisi positif ditengah kondisi yang penuh tantangan ini,” cetusnya.

Disinggung terkait kasus perceraian menurut Pengadilan Agama Kota Bandung didominasi oleh lulusan SLTA dan usia pernikahan dini, menurut Tedy, rata-rata keputusan menikah dilandasi oleh faktor emosional semata, sehingga begitu diterpa masalah tidak disikapi dengan kesadaran dan kedewasaan.

“Meskipun usia tidak selalu menjamin kondisi kematangan dan kedewasaan dari seseorang, akan tetapi usia yang matang dan sesuai dengan batas usia minimal 19 tahun yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Setidaknya pasangan mampu menyikapi permasalahan secara lebih dewasa. Komunikasi yang baik dan penguatan faktor agama akan memperkuat ketahanan keluarga,” pungkasnya. (*)

Related posts