JABARTODAY.COM – BANDUNG Kaum milenial belum terlalu dilibatkan secara jauh dalam perpolitikan nasional. Saat ini, peran generasi muda atau milenial baru sebatas partisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, seperti datang ke tempat pemungutan suara untuk mencoblos.
Hal itu diutarakan founder Bandung School of Democracy, Fahmi Iss Wahyudi, usai Refleksi 2020 dan Outlook 2021 yang digelar Indonesian Politic Research & Consulting, di Second House Bandung, Rabu (30/12/2020).
“Sementara representasi milenial dalam jabatan-jabatan strategis di politik hingga kini masih minim setelah berapa kali pilkada maupun pemilu,” tukasnya.
Meski tak ada perhelatan pilkada maupun pemilu pada 2021, Fahmi menginginkan kaum milenial bisa bertarung dalam memerebutkan posisi-posisi strategis, baik di daerah maupun pusat. Sehingga generasi muda bisa memberikan warna baru maupun penyegaran di birokrasi serta perpolitikan nasional.
“Langkah yang kita lakukan adalah memberikan kesadaran kepada anak muda bila politik itu penting, bahwa politik itu mengurus nasib banyak orang,” cetusnya.
Namun begitu, dirinya tak menampik sejumlah anak muda telah menunjukkan eksistensinya di kancah politik nasional, seperti beberapa staf khusus presiden yang usianya masih dibawah 35 tahun. Termasuk pula Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang usianya masih berkisar 30 tahunan.
“Namun itu sifatnya baru untuk jabatan selected atau dipilih. Kalau untuk yang elected, saya melihatnya belum terlalu banyak. Bahkan, kami melihat pada Pilkada 2020, isu yang keluar adalah politik dinasti atau kekerabatan, disamping hal-hal strategis lainnya,“ jelas Fahmi.
Fahmi berharap, kedepannya para pemuda maupun pemudi turut berperan aktif dalam perpolitikan Tanah Air, bukan sekedar mengampanyekan seorang calon pemimpin atau memilih di TPS. Dia menginginkan 10 atau 20 persen dari jumlah anak muda di Indonesia bisa ikut dalam pembangunan nasional dengan menempati jabatan strategis.
“Maka itu, kami memberikan politik bagi anak muda tapi dengan kemasan yang lebih segar, lebih baru, seperti konsep sociopreneur. Ini untuk mengombinasikan konsep yang relevan dengan substansi bahwa anak-anak muda itu penting untuk mengerti mengenai sistem pemerintahan atau politik, sehingga saat menyampaikan kritik tidak subjektif,” paparnya. (*)