Fahrus Zaman Fadhly
Dosen Universitas Kuningan (UNIKU) & Wakil Ketua MASIKA ICMI Orwil Jawa Barat
Dalam satu pekan terakhir ini mengemuka usulan agar Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dibubarkan. Alasannya, karena KPK dibentuk bersifat ad hoc dan bisa dibubarkan bila dipandang tidak diperlukan lagi. Bagi yang pro terhadap pembubaran KPK memandang bahwa bila pemberantasan korupsi sudah berhasil, maka tidak ada alasan untuk mempertahankan lembaga superbody tersebut. Sejumlah pihak memang sempat menyatakan kekecewaannya dengan peran KPK akhir-akhir ini yang dinilai lamban dalam menangani sejumlah kasus korupsi. Bahkan, ada juga kesan KPK tebang pilih dalam menangani kasus yakni hanya kasus-kasus kecil, sementara kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah hingga kini belum tersentuh. Kendati demikian, saya menilai kritikan yang ditujukan kepada KPK, masih dalam koridor konstruktif dan dalam kerangka penguatan fungsi dan perannya.
Adalah Ketua DPR RI Marzuki Alie yang mengusulkan agar KPK dibubarkan. Akibat usulan kontroversial itu, sejumlah anggota DPR lintas Fraksi mendesak Partai Demokrat agar mengevaluasi posisi Marzuki Alie sebagai Ketua DPR. Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI, Fahri Hamzah juga mengusulkan pembubaran KPK. Menurutnya, KPK tidak perlu diperkuat dan dipertahankan, tetapi justru harus dibubarkan. Bagi politisi PKS ini, indikator keberhasilan KPK adalah setelah KPK bisa dibubarkan. Lebih jauh Fahri mempersoalkan kenapa KPK justru menginginkan memiliki penyidik, penuntut dan hakim sendiri. Selain itu, KPK seharusnya tidak perlu memperkuat diri dengan memiliki kantor baru dan cabang di daerah.
Wacana pembubaran KPK ini mesti disikapi secara kritis, karena jebakan status ad hoc yang melekat pada institusi ini akan menggiring pembenaran gagasan tersebut. Namun, komponen bangsa ini masih memandang perlunya eksistensi KPK karena demikian akutnya praktik dan budaya korupsi termasuk di daerah. Terlebih, indeks persepsi korupsi di Indonesia demikian amat rendah. Karena itu, penulis menilai gagasan pembubaran KPK amat tidak relevan dan tidak paralel dengan desakan dan aspirasi banyak pihak terkait penguatan KPK. KPK sendiri tentu harus berintrospeksi bahwa kritik-kritik disampaikan banyak pihak juga mesti dimaknai positif dan konstruktif agar bisa bekerja lebih profesional.
Dipertahankan & Diperkuat
Ada sejumlah alasan mengapa KPK mesti dipertahankan dan fungsinya perlu diperkuat. Pertama, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2010 di Indonesia masih 2,8 seperti tahun sebelumnya. Capaian Indonesia ini berada di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura 9,3, Malaysia 4,4, Thailand 3,5. Indonesia setara dengan sejumlah negara terbelakang seperti Bolivia, Gabon, Kosovo, dan Solomon Island. Posisi Indonesia hanya unggul dari Vietnam 2,7, Filipina 2,4, Kamboja 2,1, Laos 2,1, dan Myanmar 1,4.
Korupsi yang diukur adalah sektor publik, yaitu korupsi yang berkaitan dengan pejabat publik, pegawai negeri dan politikus. CPI adalah indeks gabungan dari beberapa hasil survei yang dilakukan beberapa organisasi yang menggabungkan data berkaitan dengan korupsi. Untuk CPI tahun 2010, data yang digabungkan berasal dari 13 survei yang dilakukan oleh 10 organisasi. Organisasi ini antara lain; Africa Development Bank, Asian Development Bank, World Bank, World Economic Forum, Global Insight, Freedom House, Economic Intelijen Unit, Bertelsmann Foundation Institute for Management Development, serta Political and Economic Risk Consultancy Hongkong (detik.com, 26/10/2010).
Kedua, kita tidak bisa menutup mata bahwa kepercayaan publik (public trust) kepada aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) masih rendah sehingga KPK masih tetap diperlukan. Karena itu, sambil memberikan kesempatan aparat penegak hukum untuk berbenah diri, melakukan reformasi internal, meningkatkan kinerja dan profesionalisme agar bisa mengembalikan kepercayaan publik dan sudah dipandang siap mengambil alih peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketiga, kepercayaan dan ekspektasi publik terhadap KPK masih cukup tinggi. Bila KPK dibubarkan tentu akan berlawanan dengan kepercayaan dan ekspektasi publik tersebut. Mencermati dinamika pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun terakhir, kita mesti jujur bahwa publik masih menaruh kepercayaan yang cukup besar kepada KPK. Hal ini bisa diukur dari besarnya volume pengaduan masyarakat kepada KPK yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada kuartal pertama 2011 saja, KPK menerima 1898 pengaduan masyarakat terkait dengan tindak pidana korupsi (http://www.kpk.go.id, 2/5/2011). Perlu dicatat pula oleh pimpinan KPK, bahwa yang terpenting bukan soal pengaduaannya, tapi bagaimana tindak lanjut penanganannya sehingga benar-benar memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Pada aspek ini KPK, mesti berintrospeksi karena ada sejumlah kasus yang hingga kini masih terkatung-katung. Hal ini bukan saja tidak memenuhi azas efisiensi tetapi juga tidak memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang selama ini menjadi saksi atau tersangka atas suatu kasus.
Keempat, dalam kondisi darurat korupsi seperti demikian, tentu saja bangsa ini — siapa pun kepala negaranya— tetap membutuhkan komisi negara yang secara khusus mencegah dan memberantas korupsi yang telah membangkrutkan bangsa ini. Komitmen Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi tentu tidak dapat diragukan lagi. Dalam beberapa kasus Presiden SBY tidak pandang bulu dan mempersilahkan kepada aparat penegak hukum untuk menindak siapa saja bila terdapat fakta hukum yang mendasarinya.
Kelima, keberadaan KPK cukup efektif memberikan efek kejut (shock therapy) bagi siapa pun baik pejabat publik di pusat maupun di daerah, polisi, jaksa, hakim maupun politisi agar tidak main-main untuk berlaku korupsi. Efek kejut ini diharapkan memberikan dampa nyata agar seluruh proses perjalanan pemerintahan berlangsung memenuhi azas-azas sebagai clean and good corporate governance.
Lima alasan di atas bukan berarti KPK sendiri sama sekali bersih dari indikasi korupsi dan bebas dari pemantauan masyarakat. Kewenangan yang demikian besar yang dimiliki KPK tentu harus dikontrol secara ketat pula oleh masyarakat, termasuk oleh anggota DPR sebagai representasi rakyat. Terlebih secara kelembagaan, seleksi yang ketat hanya terjadi di level pimpinan, tetapi pada level deputi, direktur, penyidik, JPU, serta staf-staf operasional KPK adalah personil-personil yang sebagian besar berasal dari institusi kejaksaan dan kepolisian. Pada konteks ini, KPK mesti membangun budaya birokrasi baru yang compatible dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Semoga para calon pimpinan KPK yang saat ini sedang diproses oleh Pansel dan hendak diajukan ke DPR, adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas, integritas dan keberanian tinggi untuk memberantas korupsi yang nota bene merupakan extraordinary crime.
Firsly published by TRIBUN JABAR, Sabtu, 6 Agustus 2011