JABARTODAY.COM, BANDUNG — Aksi unjuk rasa mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat lain akhir September hingga awal Oktober 2019 menyuarakan penentangan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan sejumlah Rancangan UU termasuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Namun, isu yang berkembang ini tidak dibarengi dengan penjelasan secara detail, sehingga informasi yang berkembang menjadi liar.
Kesimpulan itu mencuat dalam diskusi warung kopi mahasiswa di Kedai Kongres, Jalan Moch Toha, Kota Bandung, Minggu (6/10/2019).
Kegiatan yang digagas IDEA Institute bertajuk “Memotret Kondisi Bangsa Pasca Aksi Mahasiswa” ini menghadirkan pemateri Ahmad Zidni (pemerhati fenomena kampus), Acep Jamaludin (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia), Fauzan Irvan (BEM SI), dan Adi Raksanagara (praktisi media).
Acep dan Fauzan memandang, unjuk rasa mahasiswa yang meletup di banyak kota dan diikuti ribuan orang seolah satu komando, menyuarakan tuntutan hampir sama, terutama menolak RKUHP dan revisi UU KPK.
“Penyebab utama unjuk rada adalah kekecewaan pada isi sejumlah rancangan undang-undang yang sudah disahkan DPR,” ujarnya.
Demi menjaga marwah dan kemurnian gerakan mahasiswa, keduanya berjanji akan melakukan road show ke kampus-kampus. Itu agar mahasiswa di kampus paham dan bisa memilah isu yang akan dibawa manakala melakukan gerakan atas nama kepentingan rakyat.
“Memilih isu populis dan elitis tidak salah. Namun tidak akan bertahan lama karena tidak menyentuh kepentingan langsung rakyat,” tandasnya.
Adi Raksanagara menyebutkan, peranan media sangat sentral dalam pergerakan unjuk rasa mahasiswa.
“Media menjadi alat penyambung lidah dan corong pergerakan mahasiswa,” katanya. (edi).*