Oleh. Dr. TB Massa Djafar
Beberapa analis dan pooling pendapat, mengisyarakat ektabilitas Jokowi menurun. Diperkirakan kini elektibilitas Jokowi berada diangka 45 %. Jika melihat hasil beberapa survey angka elektibikitas cenderung semakin menurun. Misalnya survey Indobarometer elektibilitas Jokowi diangka 34, 9 %. Malahan survey yang di rilis Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) perolehan suara Jokowi lebih rendah lagi, 24,38 %.
Angka-angka tersebut sangat fantastis. Karena penurunannya sangat signifikan. Meskipun sebagian orang bisa tidak sependapat. Pro kontra pasti tak terhindarkan menanggapi sebuah hasil survey. Terlepas angka-angka survey, jangan lupa, anomali politik kerap terjadi, diluar prediksi. Misalnya, kemenangan Golkar pada pemilu 1997 mencapai 78 %. Ini adalah prestasi puncak Golkar selama pemilu orde baru.
Namun, kemenangan Golkar tersebut juga sebagai sebuah Ironi politik. Diluar perkiraan, dimana krisis politik berlangsung sedemikian cepat. Ditandai kejatuhan Presiden Soeharto dari singasana kekuasaan. Fenomena lain yang menarik, misalnya kemenangan Anis-Sandy Pemilulada DKI Jakarta. Kejadian ini, umumnya diluar perkiraan dan prediksi survey. Termasuk kekeliruan prediksi para analis politik.
Dimana, angka elektibilitas Jokowi semakin turun. Fenomena ini harus dicermati, apakah ini sebuah gejala krisis politik, termasuk didalamnya krisis legitimasi politik Jokowi ? Fenomena ini, bisa jadi sebuah akumulasi yang tidak berdiri sendiri.
Para analis dari berbagai sisi bisa memberi penjelasan. Mengapa elektibilitas Jokowi cenderung merosot.
Misalnya, kebijakan makro pemerintah Jokowi kurang mendongkrak perekonomian. Pertumbuhan ekonomi turun, hanya 5%. Dan beberapa isu krusial lainnya, turut menciptakan iklim dan citra politik yang kurang kondunsif. Mulai dari pembangunan infrastruktur, isu hutang, fiskal yang tidak mencapai target, ekspor menurun.
Disisi lain angka kemiskinan dan penganguran meningkat. Daya beli masyarakat menurun. Ketimpangan sosial semakin lebar. Beberapa isu tersebut sangat sensitif. Ia menyentuh kebutuhan atau kepentingan dasar setiap orang. Terutama pada level menengah bawah. Pengalaman ini akan terekam dalam memori pemilih. Realitas semacam itu, tidak statis.
Ibarat mahluk bernyawa, ia hidup dan bekerja dengan carannya sendiri. Kemudian membentuk orientasi politik setiap orang. Dampak psikopolitis dapat mempengaruhi evaluasi moral dan preferensi politik publik. Asumsi-asumsi tersebut, setidaknya menjawab mengapa elektabiltas Jokowi menurun.
Memasuki tahun politik 2019, kontestasi politik Pilpres masih mengkrucut pada Jokowi dan Prabowo. Namun yang menarik, Prabowo mengubah stateginya. Ia memposisikan diri sebagai king maker. Konon, Prabowo akan memunculkan duet Jenderal Gatot Nurmantio dengan Anis Baswedan. Meskipun langkah ini naif dari sisi etika politik. Karena, Anis masih menjalankan amanah sebagai Gubernur DKI.
Dalam rumus politik praktis, tidak ada yang tidak mungkin. Preseden Jokowi lompat ke Pilpres bisa saja berulang. Popularitas Nurmantio dan Anis yang terus melejit. Berpotensi dan bakal mengancam Jokowi. Bahkan beberapa parpol yang berkibla ke Prabowo mencanangkan barisan koalisi, Gerindra, PKS,PAN dan PBB. Sementara, Nurmantio dan Anis popularitas terus meningkat. Kedua tokoh itu, punya klaim resentasikan kelompok massa islam. Termasuk dikalangan kelompok nasionalis moderat.
Pasangan ini cukup mampu memainkan isu isu populisme, isu nasionalisme, dan tema-tema keadilan. Mempresentasikan simbol simbol islam. Bahkan Jenderal Nurmantio cukup berhasil memikat hati massa islam. Jika pasangan Nurmantio dan Anis diperhadapkan dengan figur Jokowi maka tampak kontras. Figur Jokowi sangat lekat dengan simbol Jawa- Abangan.
Simbol ini paralel dengan sikap politik Jokowi. Dari sudut pandang kelompok islam politik dianggap tidak pro islam. Diperkuat dengan maraknya isu Jokowi pro Komunis Cina, setuju masuknya tenaga kerja asing (aseng), mengamini dominasi ekonomi Taipan.
Sementara disisi lain, sosok Jokowi yang juga populis, sederhana, tidak cukup memadai mengkounter publik opini yang sudah terbangun di kalangan sebagian masyarakat. Isu-isu yang menggeliat di level akar rumput adalah yang langsung bersentuhan dengan kepentingan atau kebutuhan mereka. Jadi,
bukan pada isu-isu eksklusif. Seperti soal kerugian BUMN, resufle kabinet dan sebagainya.
Meskipun isu-isu eksklusif konsumsi menengah atas juga berpengaruh. Ikut memicu kelompok menengah atas mengkritisi kebijakan Jokowi. Dengan melihat dua arah tekanan politik dua lapisan kelompok masyarakat, tampaknya tantangan yang dihadapi Jokowi tidak ringan. Jika dibandingkan perolehan suara Jokowi dengan Prabowo Pilpres 2014, beda tipis kurang 10 %.
Sementara, elektabiltas Jokowi diperkirakan 45 %, dalam tren menurun. Jokowi, untuk maju keduakalinya pada pilpres 2019, dengan kalkulasi politik yang matang. Setidaknya dalam sisa masa kerja dua tahun kurang, Jokowi masih berpeluang mendongkrak elektabiltasnya. Bagaimana ia bisa memaksimalkan kinerja para menteri. Termasuk mereshufel menteri yang tidak menopang kinerja pemerintah.
Melakukan terobosan terutama mengurangi beban ekonomi rakyat. Mendorong pemberantasan korupsi lebih signifikan. Tidak tebang pilih dalam kasus eKTP. Kontroversi kasus mega korupsi e KTP punya andil penggerusan citra Jokowi. Membangun komunikasi yang lebih terbuka dengan tokoh-tokoh Islam atau ulama yang bersebrangan. Tanpa terobosan jitu dan kerja keras menyelesaikan pekerjaan rumah demikian kompleks, tentu tidak cukup alasan bagi Jokowi untuk memperoleh dukungan rakyat pada Pilpres 2019.
(Penulis adalah Ketua Program Pascasarjana S3 FISIP Universitas Nasional)