Jeritan Hati Seorang Dokter

Komaruddin Hidayat, Cendekiawan Muslim

Saat ini negara dalam suasana darurat perang asimetris. Bukan militer lawan militer, senjata lawan senjata. Tetapi yang dilawan adalah virus, makhluk teramat kecil ukuran nano yang tak bisa dideteksi wujud dan gerakannya dengan teknologi yang ada. Pasukan militer dengan peralatan senjata super canggih ternyata kewalahan menghadapi virus covid 19. Kini ujung tombak pasukan tempur itu digantikan oleh tenaga medis. Sekian ribu dokter, perawat dan tenaga medis lain dikerahkan untuk memeriksa dan perawat pasien corona. Sekian banyak rumah sakit merasa kewalahan menerima kunjungan pasien.

Mendengarkan cerita dan keluhan para tenaga medis itu hati ikut merasa pilu. Mereka terikat sumpah dokter dan panggilan moral tidak boleh dan tidak tega lepas tangan menghadapi sekian ratus pasien yang terkena wabah corona. Problemnya, dan ini sangat eksistensial, pasien itu datang tidak sekedar berobat layaknya pasien biasa, tetapi mereka juga membawa virus yang mudah sekali bermutasi sehingga mengancam keselamatan dokter dan tenaga medis lainnya serta siapapun yang bersentuhan dengannya.

Sebagai pasukan ujung tombak yang berada di garis terdepan, para tenaga kesehatan itu bekerja dengan resiko sangat tinggi karena ancaman penularan virus. Mereka itu antara lain para dokter, perawat (paramedik), petugas laboratorium, radiologis, petugas admnistrasi, tenaga kebersihan, dan petugas gizi yang mengantar makanan.

Beberapa dokter telah meninggal dan sekian tenaga kesehatan lain ambruk karena tertular. Ketika meninggal, sesuai protokol kesehatan, jenazahnya langsung dibungkus rapat dan dimasukkan liang kubur tanpa upacara keagamaan yang dihadiri keluarga dan tetangga pada umumnya untuk menghindari penyebaran virus corona yang menempel. Padahal mereka itu orang-orang terhormat dan menjadi tulang punggung keluarga. Yang juga memilukan, ketika dalam perawatan di rumah sakit, pihak keluarga tidak boleh mendekat.

Cerita lain yang sangat menyentuh perasaan, para tenaga kesehatan yang menangani pasien covid-19 itu ketika hendak pulang ke rumah mesti ekstra hati-hati, jangan sampai menularkan virus ke rumah. Keintiman dan spontanitas melepas rindu pada keluarga terampas pada hal mereka letih sehabis bekerja bertaruh nyawa. Bagi para tenaga medis, situasi rumah sakit menjadi seram dan menakutkan oleh ancaman hantu virus mematikkan, sementara mereka ketika pulang ke rumah mesti menjaga agar kondisi rumah tangga steril dari virus yang sangat mungkin menempel pada dirinya. Sebuah situasi dilematis yang membuat pilu dan letih.

Berita lain yang saya terima, beberapa tenaga medis seperti perawat, petugas administrasi dan petugas kebersihan yang pada indekos atau sewa rumah kontrakan dekat rumah sakit tempat bekerja, oleh pemiliknya distop tidak boleh melanjutkan setelah tahu mereka bekerja di rumah sakit rujukan. Dikhawatirkan menyebarkan virus sehingga bisnis kontrakan tutup.

Tentu saja tidak hanya tenaga medis yang saat ini dirundung galau dan kekhawatiran. Namun yang ingin saya sampaikan, para dokter itu merasa geram dan kasihan pada perilaku masyarakat yang tidak menaati aturan untuk melakukan social distancing. Mereka masih datang ke tempat keramaian, tidak disiplin jaga kebersihan tubuh dan lingkungan. Menganggap enteng pada ancaman virus corona.

Melihat perjuangan dan pengorbanan para tenaga medis, mestinya aparat pemerintah dan para politisi ikut mensupport mereka dengan turun ke bawah memberi peringatan pada masyarakat yang masih bandel. Bantuan alat pengamanan diri (APD), vitamin dan makanan bergizi sangat dibutuhkan oleh mereka.

Saya sendiri merasa sedih ketika kegentingan virus corona ini digoreng menjadi isu politik oleh para buzzers dan ada pedagang yang mengambil keuntungan dengan menumpuk barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harga dan melipatgandakan keuntungan pribadi. ***

Related posts