Tarif Naik, Banyak Tol Tidak Sesuai Standar Minimal

Tol Purbaleunyi
Tol Purbaleunyi
JABARTODAY.COM – BANDUNG — Mulai 1 November 2015, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif 15 ruas tol di Indonesia. Adalah Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 507/KPTS/M/2015 yang menjadi dasar kenaikan tarif 15 ruas tol itu.

Ke-15 ruas jalan tol yang tarifnya naik 9-15 persen adalah ol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi), Jalan Tol Jakarta-‎Tangerang, Jalan Tol Dalam Kota Jakarta, Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, Jalan Tol Padalarang-Cileunyi, Jalan Tol Semarang Seksi A-B-C, Jalan Tol Surabaya-Gempol. Kemudian, Palilmanan-Plumbon-Kanci (Palikanci), Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), Belawan-Medan-Tanjung Morawa (Belmera), Serpong-Pondok Aren, Tangerang-Merak, Ujung Pandang Tahap I dan II, Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami dan Bali-Mandara.

Akan tetapi, putusan tersebut menyebabkan timbulnya reaksi beberapa kalangan, utamanya, yang berkaitan dengan sistem pelayanan tol, yang hingga kini, masih terkesan buruk, misalnya, sering terjadinya kemacetan dan antrean panjang pada loket pembayaran.

Menurut Chairman Suplay Chain Indonesia, Setijadi, idealnya, kenaikan tarif tol itu diikuti oleh pelayanan yang baik. “Artinya, jika standar pelayanan minimum (SPM) terpenuhi, oke lah, tarif tol ada penyesuaian. Tapi, ini aneh. Tarif tol terus naik, sedangkan SPM tidak menjadi patokan,” tandasnya, belum lama ini.

Dia berpendapat, memang, perubahan tarif tol berdasarkan regulasi yang tertuang dalam UU 38/2004 Ttentang Jalan, dan Peraturan Pemerintah (PP) 156/2006 Tentang Jalan Tol. Dijelaskan, Pasal 68 ayat (1) PP 156/2006 mengatur, setiap dua tahun sekali, berlangsung evaluasi tarif tol dan penyesuaiannya berdasarkan tarif lama yang acuannya pada pengaruh inflasi.

Akan tetapi, imbuhnya, PP 15/2005 pasal 8 ayat (2) juga menyatakan, bahwa SPM merupakan ukuran dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan jalan tol. Pengukuran SPM, jelasnya, pengaturannya tertuang dalam Permen PU 16/2014. Dikatakan, dalam aturan itu, 8 substansi pelayanan, kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan/penyelamatan, bantuan pelayanan, lingkungan, tempat istirahat (TI), tempat istirahat, dan pelayanan (TIP).

Sementara kenyataannya, kritik Setijadi, di antara 15 ruas jalan tol tersebut. masih banyak yang pengoperasionalannya tidak memenuhi SPM. Misalnya, sebut dia, dalam hal kecepatan tempuh rata-rata. Berdasarkan SPM, kecepatan minimal 40 kilometer per jam untuk tol dalam kota dan 60 kilometer per jam untuk tol luar kota. Seiring dengan sering terjadinya kemacetan, sahut dia, tentunya, kecepatan minimum tidak terpenuhi. Padahal aturan SPM menentukan bahwa pemenuhan SPM tersebut berlaku setiap saat.

Lainnya, seru dia, indikator aksesibilitas. Mengacu pada SPM, jumlah antrean kendaraan maksimal 10 kendaraan per gardu dalam kondisi normal. Namun, tukasnya, faktanya tidak demikian. Pada beberapa beberapa pintu tol utama, kerap terjadi antrean panjang. “Itu semua berpengaruh pada waktu tempuh. Sedangkan dalam dalam konteks perekonomian nasional, waktu tempuh kendaraan, utamanya, pada jalan tol, merupakan hal penting. Itu karena, terangnya, 90 persen volume barang Indonesia, menggunakan transportasi darat, yaitu jalan raya.

Untuk itu, Setijadi menyatakan, pihaknya berharap pemerintah meningkatkan transparansi penetapan dan penyesuaian tarif jalan tol,. termasuk dalam hal penilaian kinerja penyelenggaraan jalan tol secara transparan. “Apabila SPM terpenuhi, publik tidak lagi lagi yang mempertanyakan kenaikan tarif tol,” tutupnya. (ADR)

Related posts