
Pengajar Linguistik Terapan Universitas Kuningan
JABARTODAY.COM-BANDUNG. Pernyataan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, K.H. Ahmad Mustofa Bisri yang menyatakan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok itu tidak punya etiket karena kerap tidak bisa “menjaga mulutnya” patut apresiasi. Namun, menganggapnya sebagai sosok yang beretika karena ia pro pemberantasan korupsi sebagai suatu penilaian yang tidak tepat dan berlebihan.
Demikian dijelaskan pengajar linguistik Universitas Kuningan, Fahrus Zaman Fadhly menanggapi pernyataan Gus Mus yang dinilainya tidak komprehensif menilai seseorang Ahok.
“Ahok itu tidak hanya tindak tuturnya yang tidak beretiket, karena kerap menggunakan bahasa toilet, tetapi hati, pikiran dan tindakannya juga tidak beretika. Persepsi bahwa dia anti korupsi itu hanya di mulutnya saja. Ini sebuah upayanya untuk membangun citra dirinya sebagai seorang yang bersih dan anti korupsi. Kenyataannya bisa bertolak belakang dari yang ia ucapkan. Dalam studi media, itu bagian upanya untuk melakukan media engineering,” jelas Sekretaris Jenderal The Association of Indonesian Scholars of English Education ini kepada Jabartoday.com, Kamis (21/4/2016).
Menurut Fahrus, dalam perspektif pragmatik sebagai sebuah studi linguistik terapan, tindak tutur (speech act) seseorang itu merupakan cermin dari isi hati dan fikirannya. Pintu analisis Paul H. Grice, seorang pakar linguistik Inggris tentang pentingnya seseorang untuk menaati empat maksim dalam sebuah percakapan relevan digunakan untuk menguliti tindak tutur Ahok. Empat maksim itu antara lain: maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara dan maksim relevansi.
“Tindak tutur Ahok yang seolah anti korupsi itu sejatinya memiliki fungsi mitigasi pengancaman muka (mitigation of face-threatening acts) dan untuk membentuk citra dirinya sebagai seorang yang anti korupsi. Bila Ahok tidak mampu membuktikan dirinya anti korupsi dalam kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta, dalam perspektik ilmu pragmatik, dia sesungguhnya telah melanggar prinsip maksim kualitas dalam percakapan. Karena dia berbicara tidak sesuai fakta dan kenyataan, alias tidak jujur,” tutur Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa ini.
Fahrus menambahkan, ditinjau dari perspektif teori kesantunan berbahasa, selain tidak beretiket, Ahok juga tidak beretika dengan ucapan-ucapannya yang menindas mitra tuturnya dengan berbagai ancaman. Lebih jauh lagi, Ahok telah meruntuhkan tiang peradaban bangsa ini yang lama dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi tata krama.
“Berbahaya kita memiliki pemimpin seperti itu. Ucapan-ucapanya yang selalu menebar ancaman merupakan tindakan penindasan linguistik atau linguistic repression kepada rakyatnya sendiri. Secara psikolinguistik dan sosiopragmatik, ucapan-ucapan Ahok ini sama sekali tidak mendidik dan mengancam tradisi tata krama yang lama berurat akar dalam budaya kita. Jadi, baik secara etiket maupun etika, Ahok itu buruk dan tidak layak jadi pemimpin, termasuk pemimpin di keluarga,” ujarnya. [sep]