Puasa Bahasa: Kesantunan yang terlewatkan

Oleh: Nanan Abdul Manan*)

Puasa bahasa merupakan citra dari kesantunan dalam tindak tutur. Kesantunan ini muncul berdasarkan pemahaman nilai-nilai penting penggunaan bahasa yang baik dan benar disesuaikan dengan budaya lokal dimana kita tumbuh dan berkembang, bermasyarakat dan memengaruhi di dalamnya. Puasa bahasa dalam konteks agama berarti individu yang menggunakan bahasa selalu berdasarkan pada nilai-nilai moral yang harus diamalkan berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.

Dalam salah satu FirmanNya, Allah menyatakan bagaimana individu itu berdakwah atau menyeu kebaikan dengan bahasa yang santun atau baik (ihsan). Ayat ini mencerminkan bahwa kesantunan bahasa ditempatkan dalam posisi penting ketika kita berkomunikasi dalam konteks apapun.

Kepiawaian seorang negosiator terletak pada kecermatan dia menggunakan bahasa. Agama Islam jauh sebelum teori komunikasi, teori kesantunan berbahasa, teori tindak tutur itu ada, telah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan komunikasi yang santun agar tujuan komunikasi dapat tersampaikan.

Begitu juga dalam komunikasi publik hari ini, seorang pemimpin negara, pemimpin wilayah, pemimpin politik, tokoh masyarakat maupun tokoh agama akan menjadi panutan atau tidak, diterima atau tidak oleh masyarakatnya sangat tergantung bagaimana dirinya menyampaikan gagasan-gagasan dengan bahasa yang sesuai dengan nilai-nilai bahasa di masyarakat. Semakin baik teknik komunikasi pemimpin, maka semakin baik pula respon masyarakat dalam menyikapinya.

Dalam konteks kekinian, pengaruh media sosial telah menjadi satu parameter utama bahwa bahasa itu dipolitisasi oleh sebagain pihak tertentu. Bahasa kini telah dengan mudah diatur oleh para pengguna media sosial. Semakin banyak bahasa dengan peristilahannya muncul, maka secara otomatis kesepakatan dalam penggunaan dan pembenaran itu hadir.

Tujuan bahasa diciptakan sebagai sarana penyampai informasi dan nilai itu hari ini perlahan tergeser. Fenomena ini menunjukkan bagaimana siapapun boleh mengemukakan bahasanya sendiri, mempublikasikan, meraih banyak ‘like’ dalam media sosial dan saat itu pula secara otomatis, publik sosial menyepakati itulah kebenaran bahasa hari ini.

Memang, bahasa hadir karena aspek mana suka; tidak saling terbebani, saling menyepakati dalam penggunaannya, saling memahami dan menyadari. Namun, lebih dari itu, norma religi dan kearifan lokal yang membentuk bahasa itu baik harus menjadi pedoman utama dalam kontrol penggunaan bahasa sosial hari ini.
Puasa bahasa yang dilakukan di bulan ramadhan ini, nampaknya jauh lebih berat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Betapa tidak, arus informasi dan komunikasi dari berbagai perspektif ciri khas bahasa setiap detik muncul di depan mata kita.Interferensi satu bahasa dengan bahasa lain muncul setiap saat. Jika satu bahasa memiliki nilai tertentu berpadu dengan bahasa lain yang memiliki nilai lain maka kombinasi ini akan muncul dari hasil perpaduan itu. Semakin baik hasilnya maka akan menciptakan nilai pribadi seseorang baik pula, namun bila jelek maka jelek pula pribadi seseorang terpengaruh.

Secara sederhana, puasa bahasa yang seharusnya kita lakukan adalah melakukan komunikasi publik yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama yang penuh kesantunan dan dipadu dengan kearifan lokal bahasa itu. Menghindari hal-hal yang bersifat mencela dan memojokkan merupakan tindakan yang dibenarkan dalam ranah religi kita. Sejatinya berbahasa, menggunakannya dalam pola komunikasi publik merupakan menghasilkan satu efek bagaimana orang yang diajak bicara oleh kita memahami atas apa yang kita sampaikan.

Ketidakcermatan kita dalam bertutur kata kepada orang lain akan berakibat pada ketidakefektivan dan pertengkaran personal bahkan lembaga. Jika demikian terjadi, maka pesan dalam berdakwah akan gagal karena kebaikan berbahasa (ihsan) belum kita pahami dengan baik.

Wallahu a’lam bishowab.

*) Kandidat Doktor Linguistik Terapan Universitas Negeri Jakarta

Related posts