
Dosen FKIP Universitas Kuningan
Ramadhan tiba bagai embusan angin sejuk yang membelai hati yang haus akan ketenangan. Ia datang membawa sejuta makna, mengajarkan manusia tentang kesabaran, keikhlasan, dan kepekaan terhadap sesama. Namun, lebih dari itu, Ramadhan juga merupakan bulan yang penuh dengan cahaya ilmu, bulan di mana literasi menemukan ruang terbaiknya dalam hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Dalam keheningan sahur dan kehangatan berbuka, di antara lembaran mushaf yang terbuka dan pena yang menari di atas kertas, ada sebuah kesempatan besar untuk membaca, menulis, dan merenungi kehidupan dengan cara yang lebih dalam dan bermakna.
Iqra’! Membaca dengan Mata dan Hati
Perintah pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW bukan tentang shalat, puasa, atau zakat, melainkan tentang membaca. “Iqra’!” (QS. Al-‘Alaq: 1), seruan Ilahi yang menggema di gua Hira, menggetarkan hati Nabi dan mengawali peradaban Islam dengan cahaya ilmu. Perintah ini bukan sekadar ajakan untuk membaca teks, tetapi juga panggilan untuk membaca kehidupan, membaca tanda-tanda kebesaran-Nya yang terhampar di langit dan bumi, membaca manusia dengan segala kearifan dan kelemahannya. Iqra’ adalah pintu pertama menuju kebijaksanaan, dan di bulan Ramadhan, pintu itu terbuka lebar bagi mereka yang ingin berjalan di jalur ilmu.
Ramadhan adalah bulan perenungan, bulan di mana jiwa kita lebih mudah tersentuh oleh hikmah. Dalam keheningan sahur dan selepas tarawih, saat dunia melambat dan hati lebih jernih, membaca menjadi ibadah yang menghidupkan pikiran dan menenangkan batin. Membaca Al-Qur’an bukan hanya soal menyelesaikan satu atau dua kali khatam, tetapi juga mendalami maknanya, membiarkan ayat-ayatnya meresap ke dalam hati, menuntun langkah kita dalam kehidupan sehari-hari. Bacaan kita tidak boleh sekadar deretan huruf yang bergema di bibir, tetapi harus menjadi ilmu yang diamalkan, akhlak yang diterapkan.
Membaca dalam Islam bukan sekadar menelusuri aksara, tetapi juga memahami makna di baliknya, menangkap pesan-pesan yang tersirat, menggali kebijaksanaan yang tersembunyi. Oleh karena itu, Ramadhan bukan hanya waktu untuk membaca Al-Qur’an, tetapi juga untuk menelusuri tafsirnya, menyelami hikmah para ulama, dan mendalami kitab-kitab yang memperkaya pemahaman kita tentang kehidupan. Membaca kisah para nabi mengajarkan kita kesabaran, membaca sejarah para sahabat menanamkan keberanian, membaca pemikiran para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Khaldun, atau Al-Ghazali membukakan cakrawala tentang keagungan intelektual Islam.
Lebih dari itu, Ramadhan juga mengajarkan kita untuk membaca diri sendiri. Dalam perjalanan sebulan penuh menahan lapar dan haus, kita belajar memahami batas dan kelemahan kita, membaca niat di dalam hati, mengamati bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Kita membaca kebiasaan kita yang selama ini luput dari perhatian, mengoreksi yang keliru, dan memperbaiki yang kurang. Dalam doa-doa panjang saat sujud, kita membaca kesalahan masa lalu, menata ulang arah hidup, dan berjanji untuk menjadi lebih baik setelah Ramadhan usai.
Dan jika membaca adalah pintu pertama menuju ilmu, maka menulis adalah cara untuk mengabadikan hikmah yang kita temukan. Ramadhan bisa menjadi waktu terbaik untuk mulai menulis jurnal refleksi, mencatat pemikiran yang muncul di tengah keheningan sahur, menuangkan hikmah yang kita temukan dalam perjalanan spiritual ini. Dengan menulis, kita tidak hanya menyimpan ilmu untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi manfaat dengan orang lain, menyebarkan cahaya yang telah kita temukan agar tak padam begitu saja setelah bulan suci berlalu.
Maka di bulan yang penuh berkah ini, mari kita hidupkan kembali perintah pertama yang Allah turunkan kepada umat manusia: Iqra’! Bacalah dengan mata yang terbuka dan hati yang lapang, bacalah dengan akal yang jernih dan jiwa yang tulus. Karena dalam setiap kata yang kita baca dan pahami, ada jejak yang akan membimbing kita menuju cahaya ilmu dan kebijaksanaan.
Menulis: Merawat Ingatan, Merekam Perjalanan Spiritual
Selain membaca, Ramadhan juga mengajarkan kita untuk menulis. Menulis adalah cara kita mengabadikan hikmah yang kita temukan dalam perjalanan spiritual ini. Setiap momen dalam Ramadhan bisa menjadi bahan refleksi yang berharga—dari perjuangan menahan amarah hingga kebahagiaan sederhana saat berbagi dengan orang lain.
Bayangkan jika setiap hari kita menulis catatan kecil tentang perjalanan Ramadhan kita, merangkai kenangan menjadi untaian hikmah yang abadi. Hari pertama, tubuh kita mungkin masih terkejut oleh rasa lapar dan haus yang menusuk, tetapi di ujung senja, kebersamaan saat berbuka menjadi penghapus segala letih. Ada kehangatan dalam doa-doa yang terlantun, ada kebahagiaan dalam suapan pertama yang mengingatkan kita bahwa nikmat seringkali baru terasa ketika kita merindu.
Hari kelima, di tengah lantunan ayat-ayat suci, kita menemukan sebuah firman yang begitu menyentuh, mengguncang hati, mengubah cara kita memandang kehidupan. Kita menyadari betapa seringnya kita tersesat dalam kesibukan dunia, betapa banyaknya waktu yang berlalu tanpa benar-benar kita maknai. Lalu, kita menuliskannya, agar kelak saat hati kembali samar, tulisan itu menjadi pengingat bahwa pernah ada momen di mana cahaya Tuhan terasa begitu dekat.
Hari kesepuluh, langkah kita membawa pertemuan dengan seseorang yang kisahnya begitu sederhana, tetapi sarat makna. Mungkin seorang pemulung yang tetap tersenyum meski hidupnya penuh keterbatasan, atau seorang ibu yang diam-diam berbagi makanan berbuka kepada mereka yang tak punya. Dari mereka, kita belajar arti syukur, bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa tulus kita memberi.
Hari kedua puluh, tubuh dan jiwa kita mulai terbiasa dengan ritme Ramadhan. Lapar tak lagi terasa menyesakkan, sebaliknya ada ketenangan yang semakin mengakar. Sujud-sujud malam terasa lebih dalam, lebih khusyuk, seakan kita sedang berbicara langsung dengan Tuhan. Dan di antara sepertiga malam, kita menulis tentang rasa damai yang sulit diungkapkan, tentang keindahan yang tak kasat mata, tetapi begitu nyata dalam dada.
Malam ke-27, kita duduk dalam sunyi, bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku benar-benar memanfaatkan bulan suci ini dengan maksimal? Ataukah Ramadhan hanya berlalu seperti tahun-tahun sebelumnya, sekadar ritual tanpa makna? Kita membuka kembali catatan hari-hari yang telah berlalu, menemukan jejak perjuangan, kebangkitan, juga renungan. Dan di lembar terakhir, kita berjanji, bahwa setelah Ramadhan pergi, kebiasaan baik ini tak akan ikut menghilang, bahwa esok, lusa, dan seterusnya, kita akan tetap menulis, tetap mencari cahaya, dan tetap berjalan menuju kebaikan.
Dengan menulis, kita tidak hanya merekam kenangan, tetapi juga mengasah kepekaan terhadap setiap detail dalam perjalanan spiritual kita. Menulis adalah cara kita berdialog dengan diri sendiri, memahami kegelisahan, harapan, dan pencarian kita akan makna hidup.
Literasi Sosial: Membaca Keadaan, Menulis Kebaikan
Ramadhan bukan hanya tentang ibadah personal yang bersifat vertikal, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami, meresapi, dan merespons kondisi sosial di sekitar kita. Literasi sosial di bulan suci ini mengajarkan kita bahwa membaca bukan sekadar menelusuri lembaran kitab suci, tetapi juga membaca realitas, membaca penderitaan orang lain, dan membaca jeritan mereka yang tak bersuara. Di bulan Ramadhan, kita diajak untuk menjadi lebih peka terhadap keadaan sekitar, membuka hati untuk memahami perbedaan nasib, dan menulis kebaikan dalam tindakan nyata.
Saat kita duduk menikmati hidangan sahur yang hangat, ada banyak orang yang menjalani puasanya dengan perut kosong, tanpa kepastian apakah mereka akan berbuka dengan makanan yang cukup. Saat kita berbagi tawa bersama keluarga di meja makan, ada anak-anak yatim yang hanya bisa menatap harapan dalam diam, menunggu uluran tangan yang mungkin tak kunjung datang. Saat kita memilih makanan terbaik untuk berbuka, ada mereka yang sekadar berharap mendapatkan sesuap nasi untuk bertahan hidup.
Literasi sosial dalam Ramadhan mengajarkan kita untuk tidak hanya membaca kitab, tetapi juga membaca kenyataan hidup. Ini bukan sekadar tentang mengetahui bahwa ada kemiskinan, ketidakadilan, dan penderitaan, tetapi tentang meresapi semua itu dalam hati dan bertanya: Apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku bisa membuat perubahan, sekecil apa pun itu? Literasi sosial bukan hanya soal memahami masalah, tetapi juga soal berani bertindak.
Menulis Kebaikan dalam Tindakan Nyata
Membaca keadaan harus diikuti dengan menulis kebaikan. Namun, menulis dalam konteks ini bukan sekadar menyusun kata di atas kertas, melainkan menuliskan sejarah kebaikan dalam kehidupan. Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk mengukir jejak amal. Setiap perbuatan baik yang kita lakukan adalah baris-baris kisah yang akan dikenang oleh orang lain, bahkan dicatat oleh malaikat.
Kita bisa menulis pesan ajakan untuk berbagi kepada teman-teman kita, mengingatkan mereka bahwa ada tangan-tangan yang butuh disambut, ada perut-perut kosong yang harus diisi, ada wajah-wajah yang menunggu secercah senyum harapan. Kita bisa menulis gagasan tentang bagaimana membantu mereka yang membutuhkan, menyusun rencana sederhana untuk bersedekah, atau mengajak komunitas untuk turun ke jalan, membagikan makanan kepada mereka yang terlupakan oleh hiruk-pikuk dunia.
Bagi mereka yang memiliki kelebihan rezeki, kita bisa menulis kebaikan dengan berbagi sembako, membayar iftar bagi yang berpuasa, atau membantu menyekolahkan anak yatim. Bagi mereka yang mungkin tidak memiliki banyak harta, kita bisa menulis kebaikan dalam bentuk lain: mendengarkan cerita orang-orang yang butuh didengar, memberikan nasihat kepada mereka yang sedang kehilangan arah, atau sekadar menuliskan doa-doa terbaik untuk orang-orang yang membutuhkan cahaya di tengah gelapnya kehidupan.
Kebaikan tidak selalu harus spektakuler. Kadang, kebaikan yang paling berharga adalah yang dilakukan dengan tulus, meskipun kecil. Satu senyuman kepada mereka yang bersedih bisa menjadi penawar luka. Satu kata penghibur bagi mereka yang terpuruk bisa menjadi harapan. Satu tindakan sederhana bisa mengubah kehidupan seseorang, tanpa kita sadari.
Menjadikan Ramadhan sebagai Awal Perubahan
Di penghujung Ramadhan, kita harus bertanya kepada diri sendiri: Apakah literasi sosial kita semakin tajam? Apakah kita sudah cukup membaca keadaan dan menulis kebaikan? Jika bulan ini mampu membuka mata kita akan realitas hidup, maka jangan biarkan pintu kepedulian itu tertutup setelah Idul Fitri tiba.
Menjadi baik bukanlah proyek sebulan. Berbagi bukan hanya kewajiban Ramadhan. Empati bukan sekadar ritual tahunan. Semua ini harus menjadi kebiasaan, menjadi karakter, menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Kebaikan yang kita mulai di bulan suci harus terus berlanjut, karena keberkahan sejati bukan hanya ada pada ibadah, tetapi juga pada kepedulian kita terhadap sesama.
Maka, mari kita membaca lebih dalam, bukan hanya Al-Qur’an tetapi juga kehidupan. Mari kita menulis lebih banyak, bukan hanya di buku harian tetapi juga dalam tindakan nyata. Karena di akhir kehidupan nanti, yang akan tersisa bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang telah kita berikan.
Literasi Digital: Memilah Informasi di Era Ramadhan Virtual
Di era digital, Ramadhan tidak hanya dirasakan di masjid atau rumah-rumah, tetapi juga di layar gawai kita. Dari tausiyah online hingga kajian daring, dari status motivasi hingga pesan-pesan inspiratif, Ramadhan kini hadir dalam bentuk yang lebih luas. Namun, dengan derasnya arus informasi, literasi digital menjadi semakin penting.
Kita diajak untuk lebih selektif dalam membaca, tidak langsung percaya pada setiap informasi yang tersebar, terutama yang berkaitan dengan agama. Berapa banyak hoaks yang beredar di media sosial tentang keutamaan ibadah tertentu yang ternyata tidak memiliki dasar yang kuat? Berapa banyak ajakan yang tampak islami tetapi sejatinya justru memecah belah umat?
Literasi Ramadhan di era digital mengajarkan kita untuk tidak hanya membaca, tetapi juga menelaah, mengkritisi, dan memverifikasi. Sebelum menyebarkan suatu informasi, kita harus bertanya: Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan membawa kebaikan?
Ramadhan hadir sebagai bulan pembelajaran, bulan di mana setiap detik yang kita jalani bernilai ibadah, setiap kata yang kita baca menjadi ilmu, dan setiap huruf yang kita tulis dapat menjadi jejak kebaikan. Inilah waktu terbaik untuk membangun kebiasaan yang tidak hanya menyejukkan jiwa, tetapi juga mencerahkan akal. Seperti hujan yang menyuburkan tanah kering, Ramadhan memberi ruang bagi hati yang haus akan ilmu untuk kembali berbunga.
Salah satu kebiasaan yang bisa kita tanamkan adalah membaca satu buku keislaman selama bulan suci ini. Pilihlah buku yang bukan sekadar menyajikan kata-kata, tetapi mampu menuntun hati lebih dekat kepada Allah. Mungkin sebuah tafsir Al-Qur’an yang membuka tabir hikmah di balik setiap ayat, atau sebuah buku sejarah Islam yang mengisahkan kegigihan para sahabat dalam menegakkan kebenaran. Bisa juga buku motivasi islami yang mengajarkan kita tentang sabar, syukur, dan perjuangan dalam kehidupan. Dengan membaca, kita menelusuri jejak para pendahulu, memahami kebijaksanaan mereka, dan membawa pelajaran itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari.
Namun, membaca saja tidak cukup. Kita perlu menangkap makna yang kita peroleh dan mengabadikannya dalam tulisan. Menulis jurnal Ramadhan bisa menjadi cara terbaik untuk merekam perjalanan spiritual yang kita alami. Setiap hari, catatlah perubahan yang kita rasakan, perasaan yang menyelimuti, dan doa-doa yang menggema dalam hati. Mungkin ada momen ketika kita tersentuh oleh keindahan satu ayat Al-Qur’an, atau saat kita merasa diuji oleh kesabaran, atau ketika kita menemukan kebahagiaan dalam berbagi. Semua itu, jika tertulis, tidak hanya menjadi kenangan tetapi juga cermin refleksi bagi diri sendiri.
Lebih jauh, di era digital ini, kita bisa memperluas manfaat literasi dengan berbagi refleksi harian di media sosial. Alih-alih hanya membagikan foto makanan berbuka yang menggugah selera, mengapa tidak membagikan sesuatu yang bisa menggugah hati? Sebuah kutipan dari Al-Qur’an yang menenangkan, sebuah kisah inspiratif yang mengajarkan arti ketulusan, atau bahkan pengalaman pribadi yang mengandung pelajaran kehidupan. Kata-kata yang kita tulis bisa jadi menumbuhkan harapan bagi seseorang yang sedang lelah, atau mengingatkan seseorang yang hampir terlupa akan kebesaran Tuhan.
Dan jangan lupakan anak-anak, tunas-tunas kecil yang sedang belajar memahami dunia. Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan mereka pada keajaiban literasi. Ajak mereka membaca kisah para nabi sebelum tidur, membayangkan bagaimana Nabi Ibrahim dengan keyakinannya yang kokoh, bagaimana Nabi Musa menghadapi Fir’aun dengan keberanian, atau bagaimana Rasulullah mengajarkan kasih sayang kepada umatnya. Tidak hanya membaca, kita bisa mengajak mereka menulis doa-doa mereka sendiri, merangkai kata dengan harapan yang tulus, atau bahkan menggambar pengalaman Ramadhan mereka dalam bentuk yang penuh warna.
Dengan membangun tradisi literasi selama Ramadhan, kita tidak hanya memberi makanan bagi jiwa, tetapi juga memberi cahaya bagi akal. Sebab, membaca adalah jendela menuju pemahaman, dan menulis adalah cara untuk mengabadikan hikmah yang kita temukan. Semoga kebiasaan ini tidak hanya menjadi ritual di bulan suci, tetapi terus hidup dalam keseharian kita, menerangi langkah-langkah kita menuju kebaikan yang abadi.
Warisan Ramadhan: Jejak Cahaya Jiwa
Ramadhan akan berlalu, meninggalkan jejak di hati setiap orang yang menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Namun, kebiasaan baik yang kita tanamkan di bulan ini seharusnya tidak ikut hilang bersama perginya hilal Syawal.
Literasi dalam Ramadhan bukan hanya tentang membaca dan menulis selama sebulan penuh, tetapi juga tentang bagaimana kita menjadikannya sebagai kebiasaan sepanjang hidup. Membaca ayat-ayat kehidupan, menulis sejarah kebaikan, dan terus belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Semoga Ramadhan kali ini menjadi titik awal kita dalam membangun tradisi literasi yang lebih kuat—agar kita tidak hanya berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga dari kebodohan dan kelalaian. Agar kita tidak hanya menahan diri dari hawa nafsu, tetapi juga melapangkan pikiran dan hati dengan ilmu dan kebijaksanaan. []