
JABARTODAY.COM – BANDUNG
Memasuki 2015, publik sempat tersenyum karena pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yang sebelumnya Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Namun, ternyata, pada saat bersamaan, publik harus merogoh kocek lebih dalam karena dua komoditi vital, yaitu elpiji 12 kiliogram dan tarif dasar listrik (TDL) mengalami penyesuaian.
Untuk elpiji 12 kilogram, kenaikannya Rp 1.500 per kilogram. Artinya, pada level agen, harga jualnya menjadi Rp 134.000 per tabung. Sedangkan pada level pengecer, harga jualnya lebih tinggi lagi, yaitu sekitar Rp 160.000 per tabung.
Sementara untuk TDL, pada 1 Januari 2015, pelanggan golongan rumah tangga berdaya 1.300 VA sampai melebihi 6.600 VA, termasuk bisnis B2 (6.600 VA) tarifnya sama, yaitu menjadi Rp 1.496,05 per Kilo Watt hour (KWh). Apabila perbandingannya dengan tarif 1 Januari 2013, yang saat itu, nilainya Rp 8.33 per KWh, artinya, selama dua tahun terakhir, kenaikan TDL mencapai 100 persen.
Menanggapi hal itu, ekonom Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, menilai, naikanya dua komoditi tersebut (elpijji 12 kilogram dan TDL) secara bersamaan dapat berefek pada perekenomian, baik jangka pendek maupun jangka panjang. “Untuk jangka pendek, efeknya daya beli masyarakat melemah. Jangka panjangnya, kepastian kebijakan fiskal pemerintah masih buram,” tandas Acu, sapaan akrabnya, Selasa (6/1).
Menurutnya, potensi ketidakpastian tersebut dapat membesar. Pasalnya, jelas dia, harga administered price berlaku liberal pemerintah. Itu terjadi, sambungnya, atas dasar kepentingan korporasi dan manajemen fiskal.
Acu berpendapat, idealnya, pemerintah segera mengevaluasi PT Pertamina dan PT PLN. Yaitu, jelasnya, mengenai kondisi kedua lembaga BUMN itu. “Apakah keduanya (PT Pertamina dan PT PLN benar-benar sudah efisien sehingga menaikkan harga jual produk untuk menekan kerugian merupakan langkah tepat? Saya kira, PT Pertamina dan PT PLN belum efisien,” sambung Acu.
Menurutnya, sebenarnya, subsidi komoditas energi masih dalam tahap wajar. Itu karena, terangnya, pendapatan per kapita negara ini tidak melebihi 4.000 Dolar Amerika Serikat (AS) per kapita setiop tahunnya. Terlebih, imbuh dia, pemerintah belum punya sarana dan alat kontrol yang efektif guna menekan inflasi. “Tidak itu saja, pemerintah pun belum dapat memberi garansi dampak keuntungan BUMN pasca kenaikkan harga dapat membuat publik di negara ini lebih sejahtera,” paparnya.
Justru Acu berpandangan, kebijakan ekonomi pemerintah saat ini merupakan sebuah langkah liberal. Tidak itu saja, tukasnya, kebijakan itu cenderung kurang memperhatikan timpangnya pendapatan, jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran, termasuk inflasi. Memang, kata Acu, kenaikan elpiji 12 kilogram dapat membuat PT Pertamina untung. Itu membuat rencana dan skenario APBN lebih leluasa. “Tapi, apa kenaikan itu dapat membuat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik?” tanya Acu. (ADR)