Sinergi TNI-Polri dalam Memburu Kelompok Teroris

aAKBP Budi Santosa, SiK
Perwira Siswa Sespimmen Polri Angkatan 56 Tahun 2016

Sinergi Polri dan TNI dalam memburu kelompok teroris Santoso di wilayah timur Indonesia tak mengenal lelah. Polri dan TNI yang tergabung dalam Satgas Operasi Tinombala terus memburu kelompok teroris Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Satu per satu anggota kelompok teroris ini berhasil ditangkap, baik dalam kondisi hidup maupun tewas dalam pertempuran dengananggota Satgas Operasi Tinombala. Keuletan personel Tinombala dalam menegakkan hukum patut mendapatkan apresiasi. Betapa tidak berkat kerja keras mereka, kekuatan kelompok teroris ini kian menurun. Diperkirakan jumlah kelompok Santoso tinggal 22 orang.

Sejak Januari 2016 lalu hingga kini tercatat enam belas pengikut Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso alias Abu Wardah tertangkap oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala, gabung TNI-Polri. Ada yang tertangkap dalam keadaan hidup dan beberapa di antaranya tewas dalam baku tembak. Kelompok Santoso pun kian melemah dan terdesak di hutan di salah satu bagian Pegunungan Biru yang membentang dari Poso hingga Palu, Sulawesi Tengah. Mereka kesulitan mendapatkan pasokan bahan makanan. Berbagai strategi dilakukan Satgas Tinombala untuk menangkap kelompok teroris ini. Salah satunya dengan melakukan penyekatan agar simpatisan tak memberi pasokan logistik untuk kelompok Santoso. Sejak Januari 2016 rantai komunikasi juga diputus. Sejumlah pengikut Santoso yang tak tahan berada di tengah hutan pun turun gunung. Ada yang menyerahkan diri atau tertangkap saat hendak mencari makan di perkampungan.

Poso merupakan salah satu basis bagi kelompok teroris di tanah air. Mujahidin Indonesia Timur (MIT), adalah salah satu kelompok teroris pimpinan Santoso yang paling diburu oleh aparat keamanan. Kelompok ini melakukan aksi teror di wilayah Poso. Selain membuat teror, kelompok ini juga tak segan-segan membunuh masyarakat dengan aksi bomnya. Entah sudah berapa banyak anggota jaringan terorisme di wilayah ini yang berhasil diamankan polisi. Meski sudah banyak anggota jaringan yang ditangkap, namun tetap saja aksi terorisme ini menjadi ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat.

Terorisme bukanlah kejahatan biasa (ordinary crime), namun telah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya sangat luas (widespread) dan sistematik (systematic), dan banyak menewaskan ribuan orang yang tidak bersalah. Terorisme tak hanya ada di Indonesia. Hampir di seluruh negeri di dunia, kelompok-kelompok seperti ini ada. Dan mereka terus melakukan aksinya. Seperti tragedy World Trade Center (WTC), ledakan Bom Bali I dan II, ledakan Bom Madrid, Ledakan Bom London, Ledakan Bom Mumbai, hingga ledakan Bom Oslo, serta sederet aksi pengeboman laiinya semakin menunjukkan jati diri terorisme sebagai bahaya laten yang akan muncul dan terus menerus di dalam lingkungan masyarakat dunia Internasional (Aulia Rosa Nasution, S.H, M.Hum, Terorisme Sebagai Kejahatan Kemanusiaan).

Terorisme telah menjadi isu nasional dan mendapat perhatian pemerintah. Sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam memerangi terorisme keluarlah Peraturan Presiden No 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Sikap pemerintah tersebut tentunya dinilai positif oleh dunia internasional sebagai sebuah keseriusan, apalagi peran serta dan keterlibatan dalam memerangi teroris kelihatan dan dipublikasi ke dunia. Hal ini tentunya mengangkat citra Indonesia dalam percaturan dunia internasional.

Selain itu pemerintah juga melakukan komunikasi lintas negara terkhusus melalui intelijen, kepolisian, diplomatik, keimigrasian, dan sebagainya. Tetapi fenomena teroris juga tidak berhenti walaupun dunia sudah memiliki skema pemberantasan teroris. Hingga saat ini praktek kejahatan kemanusiaan itu masih berlangsung di berbagai negara. Bahkan di Indonesia juga masih bisa ditemukan di sejumlah daerah, baik di Pulau Jawa maupun Sulawesi, dan Sumatera. ***

Related posts