Saat Para Kesatria Turun Gunung

Gravatar Image

Fahrus Zaman Fadhly

Pengurus Harian Majelis Nasional KAHMI

 

Ketika kompas moral bangsa mulai goyah dan kekuasaan menjelma jadi candu yang membutakan nurani, para penjaga lama republik—yang pernah bersumpah pada tanah, rakyat, dan kehormatan—muncul kembali, bukan untuk merebut, tapi mengingatkan: bahwa negara ini bukan milik penguasa, tapi titipan sejarah yang harus dijaga bersama. Forum Purnawirawan TNI, diisi oleh tokoh-tokoh besar yang dahulu berdiri gagah membela kedaulatan NKRI, telah mengajukan delapan tuntutan yang mengguncang jagat perpolitikan nasional. Mereka adalah para saptamargais sejati—pemegang teguh sumpah dan nilai juang—yang kembali turun gunung bukan untuk merebut kuasa, tetapi untuk menjaga bangsa dari kelengahan dan kemerosotan.

Pernyataan itu bukan sekadar tulisan di atas kertas. Ia merupakan manifestasi dari kepedulian tulus terhadap masa depan republik. Ditandatangani oleh lebih dari 300 purnawirawan, termasuk 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel, tuntutan tersebut menjadi penegasan bahwa ada yang genting sedang terjadi. Di antara mereka, nama-nama legendaris seperti Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI; Jenderal (Purn) Fachrul Razi, mantan Menteri Agama; dan Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, mantan Kepala Staf TNI AL, memberikan bobot moral yang tidak bisa diremehkan. Mereka tidak sekadar bicara, tetapi mewakili gelombang keprihatinan yang dalam atas arah bangsa.

Tuntutan pertama adalah kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Para purnawirawan melihat bahwa amandemen yang dilakukan pascareformasi telah menyimpang dari semangat asli para pendiri bangsa. Demokrasi liberal yang kebablasan, sistem presidensial yang dibungkus dengan nuansa parlementer, dan kekuatan oligarki yang mendominasi, dianggap telah mencederai nilai-nilai dasar konstitusi. Kembali ke UUD 1945 yang murni, menurut mereka, adalah jalan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.

Poin kedua menyentuh soal pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai bukan menjadi prioritas utama saat ini. Di tengah banyaknya rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan, proyek IKN dianggap sebagai simbol kesombongan pembangunan. Menurut para purnawirawan, kebijakan semestinya berpijak pada kebutuhan riil rakyat, bukan pada ambisi para elit.

Tuntutan ketiga adalah penghentian proyek strategis nasional seperti PIK 2 dan Rempang. Proyek-proyek ini dituding lebih banyak menyengsarakan rakyat ketimbang menyejahterakannya. Dari penggusuran warga, kerusakan lingkungan, hingga pengabaian terhadap hak-hak adat, para purnawirawan menilai negara telah abai terhadap prinsip keadilan sosial.

Poin keempat menyuarakan keresahan atas masuknya tenaga kerja asing, terutama dari Tiongkok, yang dianggap menggeser kesempatan kerja bagi rakyat sendiri. Ini bukan xenofobia, tapi seruan kewarasan. Bangsa ini tidak kekurangan tenaga dan daya pikir, hanya saja seringkali dilemahkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada anak bangsa sendiri.

Tuntutan kelima menyangkut pengelolaan tambang yang selama ini dikuasai segelintir korporasi. Para purnawirawan menginginkan agar tambang—sebagai kekayaan alam strategis—benar-benar dikelola sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elite dan asing.

Poin keenam adalah reshuffle kabinet dan pemberantasan korupsi. Mereka mendesak agar para menteri yang terindikasi korupsi segera dicopot dan diproses hukum. Tidak hanya itu, mereka juga menginginkan agar seluruh pejabat yang selama ini menjadi bagian dari dinasti politik yang korup, ditindak tegas demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Poin ketujuh berbicara tentang reformasi Polri. Mereka menilai perlu adanya reposisi institusi kepolisian kembali di bawah Kementerian Dalam Negeri agar lebih terkendali dan profesional. Polisi seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan yang menindas kebebasan sipil.

Dan tibalah kita pada poin kedelapan, yang paling menyita perhatian: tuntutan agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Para purnawirawan menyuarakan kekhawatiran bahwa legitimasi Gibran sebagai wakil presiden terlalu lemah, baik secara hukum, moral, maupun intelektual. Bila kelak Presiden Prabowo berhalangan tetap, posisi nomor satu bangsa ini akan dipegang oleh figur yang dianggap belum cukup matang dan sarat kontroversi. Dalam benak para jenderal ini, Indonesia terlalu besar untuk dijadikan ladang magang politik.

Tentu, tuntutan ini bukan tanpa risiko. Akan ada yang mencibir, menyebut ini manuver politik, atau bahkan kudeta moral. Tapi mari kita jujur: mereka yang menyampaikan ini adalah tokoh-tokoh yang telah lama menanggalkan seragam dan pangkat, namun tidak pernah menanggalkan cinta tanah air. Apa untungnya bagi mereka, jika bukan demi masa depan republik?

Presiden Prabowo sendiri, sebagai mantan jenderal dan kini pemimpin bangsa, merespons dengan kehormatan. Ia menyatakan akan mempelajari dan mempertimbangkan semua masukan tersebut. Namun, kita semua tahu bahwa tidak semua tuntutan dapat ditindaklanjuti langsung oleh Presiden. Khusus untuk poin kedelapan, yang menyangkut pergantian Wakil Presiden, memang harus menjadi perhatian MPR, sebagai lembaga penjelmaan aspirasi rakyat. Di sinilah, parlemen diuji: apakah mereka tetap menjadi corong kekuasaan, atau benar-benar menjadi penafsir kehendak rakyat?

Aspirasi ini tak boleh dibiarkan terbang sebagai kabar yang hanya hinggap sejenak di media. Ia harus ditindaklanjuti. Karena yang bersuara bukan rakyat biasa, tapi para panglima yang dahulu pernah mempertaruhkan nyawa demi bendera merah putih. Saat suara para jenderal tak lagi dianggap, itu tanda bahwa bangsa ini mulai tuli terhadap nuraninya sendiri.

Maka, di tengah badai kebijakan yang seringkali membingungkan rakyat, suara para purnawirawan ini ibarat mercusuar yang menuntun kapal besar bernama Indonesia menuju pelabuhan aman. Merekalah suara hati bangsa. Dan ketika hati telah bicara, maka hanya bangsa yang bebal yang akan menolaknya.

Namun di balik delapan tuntutan yang telah disampaikan secara terbuka, tersiar kabar dari kalangan internal Forum bahwa sebenarnya terdapat tuntutan kesembilan yang sengaja belum diumumkan ke publik. Bocoran dari sumber internal “Bocor Alus” menyebut bahwa para purnawirawan juga menuntut agar Presiden Joko Widodo diadili atas dugaan berbagai pelanggaran berat: dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga kerusakan sistemik di berbagai sektor kehidupan bangsa.

Meski belum diangkat secara resmi, aspirasi untuk mengadili Jokowi hanya menunggu waktu. Para sesepuh bangsa tersebut tampaknya sedang menakar momentum, menunggu momen yang tepat ketika denyut nurani rakyat telah memuncak dan gelombang desakan tak terbendung. Jika benar terjadi, tuntutan ini akan menjadi penanda bahwa bangsa tidak lagi dapat mentoleransi kekeliruan kekuasaan—sekaligus menjadi peringatan bahwa sejarah tidak pernah lupa, dan bangsa ini masih memiliki penjaga moralnya. []  Jakarta, 7 Mei 2025

Related posts