Problematika Partai Politik Indonesia

Prof. Dr. R. Siti Zuhro (dok. Istimewa)

Oleh Prof. Dr. R. Siti Zuhro (Pengamat Politik dan Profesor Riset LIPI)

 

Partai politik (parpol) dihadapkan pada masalah pelembagaan yang cukup serius. Masalah pelembagaan partai politik, bahkan menjadi isu krusial dalam konteks pemilu nasional dan pilkada. Sementara itu, di internal partai kerap diwarnai konflik, bahkan ada yang berujung pada ‘pembelahan’ parpol. Antusiasme dukungan rakyat sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014 cenderung fluktuatif dan tidak sama. Trennya menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap parpol turun. Partai masih mempraktekkan sistem patronase, kolutisme, nepotisme, politik kekerabatan dan tindakan korupsi. Ke depan, proses pelembagaan partai politik merupakan salah satu agenda penting dalam jangka panjang untuk membangun sistem dan kehidupan kepartaian yang lebih demokratis dan berkualitas.

Problem Kepemimpinan

Kepengurusan partai di tingkat bawah (kabupaten/kota dan kecamatan) lebih banyak diisi oleh mereka yang berumur di bawah 40 tahun. Sementara di kepengurusan lebih tinggi (provinsi dan pusat) cenderung diisi oleh mereka yang berumur di atas 40 tahun.

Sebagian besar pengurus partai dari tingkat pusat sampai bawah diisi oleh pengurus laki-laki. Semakin ke bawah tingkat kepengurusan cenderung semakin tinggi persentase pengurus laki-lakinya

Problem Manajemen SDM

Partai politik relatif melakukan investasi SDM dan mengupayakan kepemimpinan politik masa depan melalui upaya rekrutmen, kaderisasi dan promosi.

Dalam hal rekrutmen, strata kepengurusan bawah menjadi ujung tombak intensitas rekrutmen, yaitu mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi sampai pusat.

Partai-partai politik memiliki basis sosial yang relatif sama, dimana kelompok buruh dan perempuan dianggap sebagai kelompok yang paling diprioritaskan untuk direkrut.

Masih ada sarana rekrutmen anggota partai politik yang belum dipergunakan secara optimal. Tingkat Intensitas Berbagai Medium untuk rekrutmen anggota belum efektif seperti: menyebarkan formulir anggota, pelibatan dlm kegiatan partai, kunjungan ke komunitas, melalui media cetak, website, sms dan telepon.

Investasi SDM partai melalui training, budgeting, legal drafting, SAR, public speaking, kewirausahaan, kampanye dan managemen organisasi.

Terdapat gap antara model kaderisasi yang dipraktikkan dengan yang dianggap efektif seperti: pelatihan, pembinaan khusus dan penugasan khusus. Sebagian besar pengurus partai ingin berkarir hingga menjadi pengurus pusat  partai. Tetapi mereka terhambat oleh masalah senioritas, terbatasnya sumberdaya keuangan dan tidak jelasnya kaderisasi.

Peran DPP tampak sangat penting dalam penentuan keputusan strategis terkait Pilkada, pencalegan, dan pencalonan jabatan publik.Organisasi partai politik rawan dengan konflik karena persoalan yang terkait dengan pencalegan, pilkada, dan perselisihan pengurus.

Ada kecenderungan proses penyelesaian konflik yang terjadi di partai dilakukan melalui kesepakatan informal daripada jalur yuridis atau mekanisme formal lainnya. Mekanisme penyelesaian konflik partai politik antara lain bisa melalui kesepakatan informal (islah); pengadilan/mediasi; keputusan pimpinan tertinggi partai (mahkamah partai); pemberian sanksi spt pemecatan; melalui forum khusus (munaslub, mudaslub dll).

Sementara itu disektor keuangan, APBN/APBD masih menjadi sumber pendanaan terbesar, dan diharapkan pendanaan dari sumber ini yang mengalami perubahan berdampak positif dan signifikan. Realitasnya dana yang diterima partai dari Negara (APBN dan APBD) masih lebih besar dari pada sumbangan anggota legislatif. Kenaikan dari Rp.108 persuara menjadi Rp.1000 (Agustus 2017) diharapkan mampu meningkatkan kualitas kaderisasi dan promosi kader sehingga transparansi dan akuntabilitas menjadi bagian penting dalam reformasi partai.

Upaya meningkatkan kapasitas kader melalui training atau diklat kaderisasi dengan memperbesar alokasi pengeluaran partai untuk kegiatan ini.

Peran eksternal  Parpol cenderung mengedepankan pendidikan politik tentang visi-misi ketimbang pendidikan kewarganegaraan (civic education), wawasan kebangsaan dan/atau keindonesiaan/kedaerahan.

 

What Next?

Dengan tantangan dan masalah yang dihadapi demokrasi di Indonesia, ke depan parpol diharapkan menjadi asset negara dan pilar utama demokrasi yang mampu mereformasi diri dan merespon tantangan dan masalah yang ada secara tangkas dan profesional. Dengan kenaikan dana yang diberikan negara ke parpol, tanggungjawab parpol ke negara harusnya lebih besar.

Seiring dengan itu, parpol juga perlu mempromosikan nilai-nilai budaya yang kompatibel dan mengeliminasi nilai- nilai yang tidak kompatibel agar tidak mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Perlunya membangun budaya politik yang mampu mendorong proses demokrasi atau demokratisasi.

Elite dan aktor harus mencerminkan atau merefleksikan (baik dalam tutur kata dan perilaku) nilai-nilai budaya politik yang mulia agar tidak mudah menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya.

Perilaku para elite politik yang acapkali melanggar etika dan hukum atau melakukan tindak pidana, tidak bisa semata-mata ditimpakan hanya kepada mereka saja, tapi juga mesti dikaitkan dengan parpol sebagai institusi.

Institusi demokrasi, baik kelembagaan formal (seperti partai politik, DPR, DPRD, birokrasi pemerintahan daerah, dan lembaga-lembaga formal lainnya), maupun kelembagaan non formal (seperti lembaga swadaya masyarakat/LSM, ormas agama, organisasi professional, komunitas-komunitas, lembaga-lembaga adat dan perkumpulan-perkumpulan lainnya) perlu diperankan secara maksimal untuk melatih SDM agar mereka ikut mendorong proses terwujudnya demokratisasi yang sehat dan bermartabat.

Sinergi dan pelibatan masyarakat, baik dalam demokrasi dan pemerintahan diperlukan sehingga terjadi pola relasi yang saling memperkuat (empowering) antara pemerintah/pemda dan rakyat.

Pentingnya membangun demokrasi ala Indonesia yang dilandasi oleh Pancasila, dan dikawal oleh UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Demokrasi yang dibangun dan didukung penuh oleh nilai-nilai budaya politik domestik. Yaitu demokrasi yang memiliki rohnya sendiri di bumi pertiwi, dimana rakyat bisa merayakan kepemilikannya dan tak merasa tercerabut dari akarnya.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi saja tak cukup. Demokrasi dan wawasan kebangsaan harus saling melengkapi. Praktek demokrasi yang tak dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang memadai akan membuat demokrasi tak membumi dan menghasilkan model demokrasi prosedural saja.

Demokrasi akan sarat dengan distorsi ketika nilai-nilai kebangsaan/keindonesiaan dinafikan dan dilupakan oleh para elite dan aktor politik serta masyarakat.

Semakin besar penafian terhadap nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki dan juga lemahnya penegakan hukum yang ada, maka akan semakin distortif pula praktek demokrasi di Indonesia, sehingga mengakibatkan tidak efektifnya kinerja lembaga eksekutif,  legislatif dan yudikatif.

Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan dilandasi oleh Pancasila, kita dorong praktek demokrasi yang lebih beretika, berkualitas, sehat dan bermartabat.

Praktek demokrasi ala Indonesia yang didukung penuh oleh semua warga masyarakat. Yaitu suatu demokrasi yang mencerminkan perpaduan antara karakteristik dan kekhasan daerah-daerah (kedaerahan) dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan (keindonesiaan). Sistem demokrasi yang kita laksanakan tak harus membuat kita tercerabut dari akarnya.***

 

 

 

Related posts