Pakar filsafat Universitas Indonesia Doni Gahral Adian menilai, bahwa semakin tebal kedok seseorang dalam berpolitik, semakin besar dosa yang disembunyikan.
Kedok seorang dalam berpolitik sebagai bagian dari politik santun yang kerap dilakukan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Jadi santun disini kayak kedok. Semakin tebal kedoknya (santun), maka semakin banyak dosa politik yang disembunyikan,” tandas Doni dalam diskusi ‘Politik Santun, Antara Retorika dan Kenyataan di Rumah Perubahan 2.0 Kompleks Duta Merlin, Gajah Mada, Jakarta, Selasa (19/6).
Doni mengingatkan bahwa politik santun ini pernah dilakukan mantan Presiden ke-2, Soeharto, yang dijuluki sebagai ‘The Smilling General’. Hal berbeda dilakukan mantan Presiden Gus Dur, karena cucu pendiri organisasi Islam Nahdhatul Ulama ini dalam kenyataannya tidak kelihatan santun sama sekali. Ia melabrak aturan yang ada namun kebijakannya memberikan manfaat banyak orang.
“Politik santun ini jadi alat perebutan kekuasaan, kedua sebagai alat untuk menutupi kebijakan yang menciderai rakyat,” kata dia.
Masyarakat Indonesia, tambah Doni, selama ini cenderung melihat sesuatu yang tampak, padahal dibelakang itu dipenuhi dengan kebohongan luar biasa.
“Pemilu 2014 kita pilih mana? Presiden yang tampil apa adanya tapi konstitusional atau presiden yang santun, tapi dosanya banyak,” tegas Doni.