Momen Tidak Tepat Naikkan BI Rate

JABARTODAY.COM –  BANDUNG
Pasca kenaikan harga jual dua jenis bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yang masing-masing sebesar Rp 2.000 per liter, yaitu premium menjadi Rp 8.500 per liter dan solar, yang kini bernilai Rp 7.500 per liter, membuat Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis point atau menjadi 7,75 persen.

Otoritas perbankan tersebut beralasan, naiknya BI Rate itu merupakan sebuah kebijakan untuk menyikapi defisit neraca berjalan dan, mengendalikan inflasi. Kemudian, menjaga likuiditas perbankan, sekaligus mendorong pertumbuhan kredit.

Namun, beberapa pengamat dan ekonom memandang kebijakan BI menaikkan BI Rate tersebut sebagai upaya yang kurang tepat. “Ekonomi nasional pasca kenaikan BBM subsidi belum stabil. Jadi, putusan BI menaikkan BI Rate adalah hal yang kurang tepat,” tandas Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, Kamis (20/11).

Acu, sapaan akrabnya, menegaskan, alasan BI menaikan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi tidak dapat diterima. Penyebabnya, terang dia, inflasi saat ini bukan oleh adanya kenaikan permintaan, melainkan sebagai efek naiknya harga jual BBM subsidi.

Begitu pula dengan alasan menjaga nilai tukar rupiah. Menurutnya, kondisi saat ini tidak dapat menambah atau meningkatkan peredaran uang. Sebaliknya, kata Acu, naiknya BI Rate justru dapat membuat inflasi semakin tinggi. Perkiraannya, ujar Acu, hingga 3 bulan mendatang, atau setidaknya awal 2015, inflasi dapat mencapai 3 persen.

Dampak naiknya BI Rate, lanjut Acu, dapat terjadi pada sektor riil. Soalnya, jelas Acu, naiknya suku bunga acuan tersebut dapat membuat suku bunga kredit pun terdorong naik. Akibatnya, sambung dia, kondisi itu dapat memberatkan pelaku usaha untuk memenuhi kewajibannya membayar kredit.

“Saya kira, naiknya suku bunga kredit sebagai dampak kenaikan BI Rate justru
berpotensi membuat kredit macet atau NPL (non performing loans) dapat bertambah. Keuntungan bunga (Net Interest Margin-NIM) perbankan juga naik menjadi 5,5 persen, sebelumnya 5,3 persen,” paparnya.

Acu mengatakan, NIM perbankan di negara ini begitu tinggi. Bahkan, Acu menilai sebagai yang tertinggi di kawasan ASEAN. Di negara-negara tetangga kawasan ASEAN, sebut Acu, NIM perbankannya jauh lebih kecil, yaitu 2,5-3 persen.

Acu memandang kenaikan BI Rate dapat berefek kurang baik karena tidak hanya suku bunga kredit yang naik, tetapi juga suku bunga simpanan. Apabila suku bunga simpanan naik, imbuh Acu, hal itu dapat menyebabkan terjadinya perang deposito. Ironisnya, kritik Acu, BI melakukan upaya mengantisipasi terjadinya perang suku bunga deposito. (ADR)

Related posts