Oleh: Fathorrahman*
Marsekal TNI Hadi Tjahjanto akhirnya lolos tes fit and proper di Komisi I DPR RI, Rabu lalu. Dalam diskusi-diskusi kecil ditempat-tempat orang bicara politik dan masa depan negara, KSAU yang satu ini kurang mendapatkan tone yang positif. Apa sebab, secara intelektual, Marsekal Hadi ini mereka nilai tidak menonjol alias kurang istimewa.
Tentu saja hal ini suatu penilaian tersendiri dan masih bisa diperdebatkan. Meski ada selentingan yang meremehkan kepemimpinan Hadi kelak sebagai panglima, toh akhirnya, ditangan Jokowi, lelaki yang dikenal memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Jokowi ini jadi juga. Nasib baik memang tidak bisa ditolaknya.
Dilihat dari perjalanan karirnya, Marsekal Hadi terbilang sangat cepat. Serasa Marsekal berkumis tebal ini melintasi jalur yang excellent.
***
Hadi Tjahjanto terlahir di Malang, Jawa Timur 8 November 1963. Hadi Thajanto adalah perwira tinggi lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1986. Pada tahun 1987 dia sudah menyelesaikan Sekolah Penerbang TNI AU. Kemudian pada 2010-2011, Hadi pernah menjabat Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo. Nah, disaat itulah, Walikota Solo dijabat oleh Joko Widodo. Nampaknya, keakraban diantara keduanya mulai terbina. Apabila kita hitung dari sekarang, kedekatan keduanya telah tumbuh sekitar 6-7 tahun yang lalu.
Suami Nanik Istumawati itu meraih bintang pada 2011 saat menjabat Direktur Operasi dan Latihan Basarnas (Dirops dan Lat Basarnas). Pada 2013, dia ditugaskan menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI AU. Namanya pun kian dikenal oleh publik.
Sekitar dua tahun kemudian, yakni 2015, bapak dua anak itu dipercaya menjadi Komandan Lanud Abdulrachman Saleh. Kurang dari setahun menjadi Komandan Lanud Abdulrachman Saleh, Hadi lantas ditarik Jokowi sebagai Sekretaris Militer Presiden.
Belum genap setahun menjabat Sesmil Presiden, Hadi lantas dipromosikan menjadi Irjen Kementerian Pertahanan. Dia pun menyandang bintang tiga di pundak, yakni marsekal madya.
Karier Hadi melesat menyalip para seniornya. Selama waktu tiga tahun, Hadi tercatat dua kali mendapat promosi. Pada hari Rabu tertanggal 18 Januari 2017, Hadi pun dilantik menjadi KSAU dengan 4 bintang di pundak dan pangkat marsekal. Pelantikan Marsekal Hadi dilakukan di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat. Sejumlah pejabat penting hadir dalam pelantikan ini. Hadi dilantik sesuai dengan Keppres Nomor 02/TNI/2017, yang ditandatangani pada 17 Januari 2017. Dan, kini lelaki kejatuhan berkah itu diangkat kembali untuk menjadi Panglima TNI. Berkah tiada tara!
***
Bagaimana kira-kira masa depan TNI dibawah kendali Panglima yang praktis tidak pernah memimpin pasukan ini? Itu pula pertanyaan penting yang konon juga berkembang dikalangan TNI. Harus diakui, bahwa pengalaman memimpin pasukan juga akan membentuk karakter kepemimpinan seorang panglima TNI.
Minimnya pengalaman dibidang yang satu ini, diperkirakan oleh sejumlah pengamat dan pemerhati pertahanan negara sebagai kendala yang juga serius. Apa sebab? Secara psiko-leadership, model kepemimpinan militer tidak akan menonjol dan juga akan berimplikasi pada penghormatan anak buah pada kepemimpinannya kelak? Apakah analisis seperti itu benar? Mari kita tunggu, karena semua itu akan ditentukan oleh waktu bersama sejarah.
Apabila ditilik dari sejarah perjalanan karir politik Jokowi, Marsekal Hadi ini memiliki kemiripan yakni melompat-lompat dengan cepat. Secara alamiah, karir yang melompat lompat dan tidak tuntas akan kehilangan dasar pijak dan pengalaman yang matang dalam tugas. Dan ini juga kelemahan sekaligus kelebihan.
Lima Ancaman
Komisi I DPR secara aklamatif merestui Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang namanya terus menggema itu. Ada apa dengan Komisi I? Kabar beredar, bahwa fit and proper yang lancar itu terjadi karena Presiden Jokowi sudah merestui Hadi sebagai satu-satunya calon kuat Panglima TNI.
Dalam sidang fit and proper itu, Hadi memaparkan lima konstelasi global yang berpotensi menjadi ancaman pertahanan dan keamanan nasional pada Rabu (dalam uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh DPR pada Rabu (6/12) lalu.
Pertama, menurut Hadi, tatanan dunia baru, seiring melemahnya hegemoni kekuatan superior dunia muncul sebagai akibat pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China, Rusia, India, dan Brasil. Perubahan peta dunia baru itu dinilai akan menjadi ancaman serius bagi pertahanan negara.
Hadi berusaha menjelaskan implikasi tatanan dunia baru yang dia sebut “unimultipolar” pada pergeseran kekuasaan, serta bagaimana aliansi bisa melintas ideologi karena kepentingan telah menjadi keutamaan.
“Sementara itu, kepemimpinan negara baru superpower telah mengubah pola intensitas komitmen terhadap keamanan global,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Hadi, diperparah oleh adanya aktor-aktor non-negara yang membawa kepentingan kelompok menggunakan kemasan ideologi, agama, suku hingga ekonomi.
Dia mengatakan wujud nyata dari realitas ini adalah munculnya instabilitas di beberapa kawasan yang sedianya berada dalam kendali seperti di Timur Tengah, Irak dan Suriah, termasuk ISIS di Filipina dan krisis nuklir di Korea Utara.
Berbagai hal tersebut pada gilirannya telah menjadikan fungsi utama angkatan perang sebagai peran konvensional menjadi using. Apalagi jika dibandingkan dengan ancaman kontemporer yang bersifat asimetris, proksi, hibrida, dan kejahatan lintas negara termasuk siber.
Potensi ancaman yang kedua, menurut Hadi adalah terorisme. Semua negararentan terhadap ancaman teroris, dimana terorisme sering dijadikan sebagai alat untuk menguasai suatu wilayah yang berujung pada perang yang melibatkan pihak ketiga seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.
Dia menilai beberapa kasus di Irak dan Suriah menunjukkan bahwa terorisme terbukti berujung pada perang proxi atau perang hibrida yang melibatkan berbagai aktor, baik aktor negara maupun non-negara.
Medsos dinilai Hadi yang disebar oleh kelompok teroris telah mampu secara cepat menyebarkan pengaruh. Mereka mampu mengaktifkan sel tidur atau pun simpatisannya di seluruh dunia demi mendukung kepentingannya.
Dalam konteks itulah Hadi melihat perang siber sebagai potensi ancaman ketiga. Ia mengatakan bahwa ancaman ini dianggap sama bahayanya dengan senjata kinetik dan karenanya perkembangan dunia siber harus menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan fungsi ketahanan dan keamanan nasional.
Hadi mencontohkan pelancaran serangan siber yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat dan Israel untuk menghentikan program nuklir Iran.
Meskipun serangan itu belum mampu menghentikan program nuklir Iran namun konsep itu menunjukkan serangan siber dapat menjadi suatu opsi yang setara dampaknya dengan senjata kinetik.
Yang menarik adalah, Hadi mengidentifikasi Kebangkitan China sebagai ancaman keempat. Nah, perkembangan Tiongkok yang sangat pesat karena negara itu telah mengubah konstelasi politik dunia dalam waktu singkat melalui percepatan ekonomi dan militer.
China, lanjut Hadi mampu mengemas kebangkitan bangsanya dengan slogan yang diviralkan sebagai “china charm offensive”, di mana negara itu bertindak agresif untuk ekspansi di beberapa kawasan serta berusaha mewujudkan ambisi menguasai Laut Cina Selatan. Melalui ketiga pangkalan tersebut dan di Pulau Hudi, Tiongkok diperkirakan akan mampu menyelengarakan perang di seluruh wilayah Laut Cina Selatan.
Potensi ancaman yang kelima, menurut dia, berasal dari kerawanan di laut Indonesia. Ia mengatakan bahwa TNI bertanggung jawab melindungi wilayah laut Indonesia dari ancaman dari luar dan dalam. Marsekal Hadi mencontohkan, munculnya kejahatan perampokan bersenjata dan penculikan di wilayah perairan Filipina Selatan, sekitar Laut Sulu, oleh kelompok Abu Sayyaf.
Sebagai negara kepulauan, lanjut Hadi, Indonesia bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan di wilayah laut yang menjadi yurisdiksinya, termasuk pada laut-laut bebas yang berbatasan langsung dengan wilayah tersebut.
***
Namun lepas dari semua itu, terdapat berbagai tantangan internal TNI yang akan dia hadapi sebagai panglima kelak ditengah minimnya pengalaman territorial yang lazim dilalui oleh seorang panglima TNI. Kasus terakhir terkait pemutasian 85 perwira tinggi (pati) TNI juga menjadi masalah yang harus diselesaikan secara baik ditengah kontroversi yang berkembang, termasuk kecaman PDIP kepada Jenderal Gatot Nurmantyo.
Pendek kata, Panglima TNI yang baru Hadi Tjahjanto diharapkan tetap bersikap netral dan mengutamakan kepentingan negara dan tidak berpihak pada salah satu calon presiden pada 2019 nanti. Sebab posisi Panglima TNI di masa pemilu sangat penuh dengan godaan. Dan, selamat bekerja!
*Fathorrahman adalah Dosen Universitas Pamulang