Membaca 6 Arus Demonstran : Dari Meja Kekuasaan ke Jalanan

Gravatar Image

Ageng Sutrisno

Kolumnis

Aku melihat kerumunan di mana-mana. Dari jalan raya ibu kota hingga simpang kota kecil yang sederhana, dari suara toa sampai bisik-bisik warung kopi di pojokan sana. Rasa gusar itu sama: rakyat gelisah, penguasa gagap. Namun jika kita perhatikan lebih seksama, keramaian itu bukan sekadar luapan spontan. Ada pola, ada arus, ada kepentingan yang berlapis-lapis. Seperti orkestra tanpa dirigen, suara publik terdengar riuh, tapi setiap instrumen bisa saja dimainkan oleh tangan yang berbeda.

Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang mengatur nada, dan siapa yang sungguh berbicara dari hati?

Siapa saja yang “bermain” di balik keramaian jalanan? Kalau kita urai pelan, ada enam arus kepentingan yang saling berkelindan—kadang bertabrakan, kadang justru saling memanfaatkan—hingga suara publik terdengar seperti koor yang sumbang.

Pertama, oligarki: jaringan pemilik modal besar yang paham betul cara menjaga dan memperluas kuasa. Mereka tak selalu tampil di panggung; seringnya bekerja lewat operator—oknum aparat, organisasi bayangan, “mahasiswa binaan”, sampai preman—untuk menggeser opini dan arah gerak massa. Secara teori, oligarki akan mendorong “wealth defense”: perlindungan kepentingan ekonomi melalui pengaruh politik dan institusi negara (lih. analisis Winters tentang oligarki Indonesia). Mereka bisa menyalakan isu-isu yang tampak pro-rakyat (misalnya “selamatkan ekonomi rakyat”) namun ujungnya mengamankan regulasi, konsesi, atau proyek yang menguntungkan mereka. Ketika demonstrasi meletup, skenario klasiknya: biarkan gelombang tumbuh, lalu sisipkan agenda—menuntut kebijakan tertentu yang kelihatannya populis, padahal sejatinya “mengunci” keuntungan oligarkis.

Kedua, elit politik yang takut di-reshuffle. Mereka membaca kegaduhan sebagai ruang tawar. Cara kerjanya oportunistik: menempel pada isu yang sedang panas, kemudian mengirim sinyal ke presiden atau partai—“lihat, basis kami bergerak; sentuh kursi kami, gelombangnya bisa membesar.” Dalam ilmu politik, ini textbook opportunism: memanfaatkan situasi untuk mempertahankan pengaruh, kerap mengesampingkan konsistensi prinsip. Karenanya, kita melihat pernyataan yang berubah-ubah dari tokoh yang sama, tergantung angin mana yang menguntungkan hari itu.

Ketiga, kelompok anti-Jokowi. Spektrum ini luas: dari yang sekadar ingin “bersih-bersih antek lama”, sampai yang mendorong langkah ekstrem seperti pemakzulan. Secara taktis, mereka menautkan setiap problem hari ini sebagai “warisan” atau “jejaring” masa lalu. Strateginya: framing moral—korupsi, konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang—untuk menuntut reposisi orang-orang kunci. Ketika kerumunan memanas, tuntutan mereka menjadi paket: ganti menteri tertentu, bongkar kebijakan, usut figur sentral. Efeknya bisa positif (akuntabilitas), tetapi rawan reduksi: kompleksitas kebijakan seolah selesai hanya dengan “copot-angkat”.

Keempat, oposisi ganda—anti-Jokowi sekaligus anti-Prabowo. Ini kelompok yang melihat problem sebagai cacat sistemik: desain konstitusi, ekosistem partai, hingga budaya kekuasaan. Karena itu seruannya sering menyasar akar—“kembali ke UUD 1945”, “pemilu ulang”, atau “bubarkan DPR”. Mereka menuding bahwa tambal-sulam personalia tak akan menyelesaikan masalah struktur. Kekuatan mereka adalah konsistensi naratif sistemik; kelemahannya, tuntutan yang amat besar mudah dibingkai “utopis” atau “impractical” dan karenanya sulit diraih dalam jangka pendek.

Kelima, oportunis murni. Mereka tidak peduli substansi—yang penting arusnya deras dan ada yang membiayai. Di lapangan, bentuknya bermacam: penyedia “massa instan”, jasa konten agitasi, sampai broker logistik. Mereka membaca energi sosial sebagai pasar. Dalam ekosistem digital, perilaku semacam ini bertemu dengan praktik astroturfing—menciptakan kesan dukungan akar rumput padahal terkoordinasi oleh sponsor—dan memanipulasi opini lewat akun-akun palsu atau jaringan bayaran. Dampaknya berbahaya: publik kesulitan membedakan dukungan asli dan dukungan buatan, sementara pembuat kebijakan menerima sinyal yang bias.

Keenam, kelompok idealis—inti moral dari protes. Mereka turun karena nurani: menuntut keadilan atas korban, menagih reformasi birokrasi, menekan DPR yang tidak bermartabat, dan mendesak komunikasi publik yang beradab. Mereka menjaga disiplin non-kekerasan, menolak provokasi, dan merawat legitimasi gerakan. Ancaman terbesar bagi kelompok ini justru datang dari luar: agent provocateur yang sengaja menyalakan kekerasan agar gerakan damai kehilangan simpati. Literatur gerakan non-kekerasan mencatat pola berulang: sisipan perusuh—melempar batu, membakar fasilitas—lalu legitimasi represi menguat, dan pesan substantif gerakan tenggelam oleh narasi “demonstran anarkis”. Karena itu, kelompok idealis biasanya membangun protokol de-eskalasi, dokumentasi lapangan, hingga kanal klarifikasi cepat untuk melawan disinformasi.

Ditarik utuh, enam arus ini menjelaskan kenapa satu peristiwa bisa menghasilkan narasi yang bertolak belakang. Oligarki mengatur ritme demi kepentingan material; elit ketakutan merawat kursi dengan kalkulasi komunikasi; kubu anti tokoh membidik personalia; oposisi ganda membidik struktur; oportunis menjual momentum; sementara idealis berusaha menjaga makna.

Tugas kita sebagai warga: menguji motif (siapa diuntungkan?), memeriksa metode (damai atau provokatif?), dan menilai mandat (tuntutannya konkret dan akuntabel atau sekadar slogan?). Barulah dari sana, energi kemarahan publik bisa dipandu menjadi perubahan kebijakan yang nyata—bukan sekadar panggung sementara bagi mereka yang lihai bermain di belakang layar.

Kerumunan hanyalah cermin. Di baliknya ada wajah-wajah yang menyalakan api untuk kepentingan pribadi, ada pula yang menjaga bara demi nurani. Dari oligarki yang licin, elit yang gamang, oportunis yang menjual momentum, sampai idealis yang memelihara makna—semua berbaur dalam satu panggung yang bernama jalanan.

Bagi kita sebagai warga, tugasnya bukan larut dalam riuh, melainkan jernih membaca arah. Siapa yang benar-benar bicara untuk kepentingan rakyat, siapa sekadar mengulang pola lama: menabur isu, menuai kuasa. Sebab perubahan sejati tidak lahir dari teriakan semata, melainkan dari kesadaran kolektif yang berani memilah mana suara tulus, mana sekadar gemuruh kosong.

Dan di sanalah, barangkali, harapan itu tetap hidup: bahwa meski riuhnya kerap sumbang, rakyat Indonesia masih mampu menemukan harmoni—asal telinga kuasa tidak terus-menerus menutup diri. []

Related posts