Jakarta Saya: Bangunlah Badannya, Lupalah Jiwanya…

indra-piliangIndra J Piliang
Sang Gerilyawan Batavia

Hari-hari jelang tanggal 4 November 2016 begitu riuh. Seakan Jakarta lahir kembali, bersamaan dengan kehadiran puluhan ribu orang dari seluruh Indonesia. Aksi massa yang disambut pro-kontra itu bertujuan untuk menyampaikan pesan terkait Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok Zhong. Pesan yang berasal dari kontroversi pernyataan Ahok itu bergema kencang dalam pemberitaan media-media konvensional hingga new media.

Saya tidak mau bicara masalah agama, apalagi hukum yang terkait agama. Di negara-negara asalnya, tempat orang-orang suci dilahirkan, permasalahan agama sudah membunuh banyak manusia. Bukan agama yang menjadi persoalan, tetapi para pemeluk yang berbeda pendapat. Kota suci bagi satu agama, bisa jadi sasaran bom bunuh diri bagi pemeluk agama lain. Di negara-negara miskin, uang yang dihamburkan untuk ritual keagamaan lebih banyak daripada untuk memenuhi kebutuhan gizi atau pendidikan tempatan.

Pun dalam tinjauan budaya dan hubungan antar manusia, negara-negara yang didominasi agama tertentu belum lebih tidak korup dari negara-negara lain. Agama bukanlah kecambah yang menjangkau setiap mata air kehidupan publik yang paling penting. Agama tak dibawa dalam putaran waktu yang terus beranjak pergi. Nafas-nafas kesadaran manusia lebih dipenuhi oleh keinginan-keinginan statistik untuk mengejar kemajuan dan kejayaan.

Padahal, tak ada satupun ajaran agama yang tak indah, tak baik, tak bernas, tak memikat. Kitab-kitab suci agama samawi atau aksara non samawi selalu membawa setiap pikiran pembaca menerawang kepada kehidupan transendental, kekuatan yang diluar nalar, serta cara kerja alam semesta yang teratur, bergeserpun tidak untuk sekadar oleng dan saling tabrak. Bumi, dan galaksi, bagai sebutir biji zarrah yang berada dalam alam semesta dengan kekuatan dan kekuasaan yang melebihi alam itu sendiri. Alam yang adalah mahkluk yang dikendalikan kekuatan supra-mahkluk.

Bagi penganut aliran rasionalisme, tentunya konsepsi “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” itu kurang menarik. Apapun jenis dan rupa pertanyaan meragukan yang diberikan, tentulah ada penjelasan yang masuk akal lewat teori akal sehat. Bagi kaum agnostik, tak ada yang lebih kuat dibandingkan dengan otak manusia. Manusialah yang paling bisa berpikir, diluar manusia tak cukup takaran untuk sekadar berhitung.

Kakak Tua, barangkali, mampu berhitung. Tapi, bukankah itu hanya wujud kepikunannya semata? Ketika Sang Kakak masih Muda, tak ada hitungan yang bisa masuk ke kepalanya, tanpa sodoran pengasuhnya dengan ancaman serius: bulir-bulir makanan mulai berkurang di dalam sangkar.

Dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan, sikap agnostik dibenarkan, karena tidak mungkin ada satu jawaban standar: “Hanya Tuhan yang tahu” – dalam keterbatasan atau malah ketidak-terbatasan pikiran seorang Nusron Wahid mengais pengetahuan lama — atas semua jenis pertanyaan. Bukankah Tuhan sudah membagi-bagi pengetahuan itu di dalam kitab-kitab suci dalam bentuk wahyu kepada orang-orang pilihan, lalu generasi itu atau setelah itu mencatatnya dengan satu keterangan: inilah Firman Tuhan.

***

Artikel yang tak patut merambah soal-soal keagamaan ini ternyata sudah masuk kepada kompleksitas yang dihadapinya. Seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, ternyata mengeluarkan begitu banyak kata-kata melebihi orang lain. Penyair seterkenal apapun pada zamannya – abad ke 7M untuk Rasulullah Muhammad SAW –, sama sekali tak sanggup menyusun kata-kata yang sama indahnya, apalagi di atas keindahan ayat-ayat suci itu. Hadiah-hadiah dari orang-orang kaya tercampak begitu saja, termasuk hunian yang lebih layak di dekat Baitullah.

Ahok, kenapa ia menjadi persoalan, ketika memberanikan diri untuk membaca bacaan yang bukan kewajibannya. Ia tak pertama kali menyinggung Surat Al Maidah, tetapi sudah berkali-kali. Barangkali, dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya itu, tak ada seorang ustaz-pun di sekitarnya, atau jangan-jangan ada, tetapi tak menganggapnya penting untuk disimak. Buat apa? Baik bagi takaran keimanan Ahok ataupun bagi takaran pahala pendengarnya, sama sekali tak dimasukkan ke dalam catatan dua orang malaikat sisi kiri dan sisi kanan seorang muslim. Ahok sudah jelas-jelas kafir – dalam diksi yang semakin lantang diteriakkan.

Lha, apabila seorang kafir tak benar-benar hafal atau tak benar-benar tepat mengucapkan makna kitab suci orang lain yang bukan kafir, apakah kekafiran Ahok akan berkurang? Apabila Ahok semakin kafir dengan kekafirannya, berpahalakah atau berdosakan buat orang lain. Ketika nanti aparat hukum bekerja, Ahokpun dihukum sesuai dengan derajat pelanggaran hukum yang ia kerjakan — karena tak ada satupun yang mau memaafkannya –, dosa siapa yang bertambah, pahala siapa yang berkurang? Apakah memaafkan sudah bukan lagi cara untuk menipiskan tebalnya dosa, sehingga layak diabaikan begitu saja?

Ahok, ia memang begitu. Ia menggergaji sistem penggajian Aparatur Sipil Negara berdasarkan kemampuan anggaran yang dimiliki DKI Jakarta dan beban hidup yang dihitung sendiri. Ia tak peduli pada rasio gini yang makin melebar, sehingga gubuk si miskin seakan sudah terhapus dengan sendirinya, hanya karena bayangan gedung dan apartemen si kaya kian menghitam menutupinya. Nilai kinerja yang buruk tahun lalu, hanya urutan ke-18 di antara semua provinsi di Indonesia, tak terlalu penting buat Ahok selama elektabilitasnya menjulang tinggi. Dua provinsi yang tinggi nilainya yang dipimpin dua orang pamong senior, yakni Pak De Karwo di Jawa Timur dan Sultan Hamengkubuwono X di Daerah Istimewa Yogyakarta, bukanlah sesuatu yang layak tiru bagi Ahok.

Dan entah siapa yang membuat Ahok tetap menjadi besar kepala. Ia jarang terlihat dalam acara-acara yang dihadiri oleh gubernur-gubernur provinsi lain. Kalaupun hadir, katakanlah di Istana Negara, Ahok seakan sedang mendampingi Gubernurnya yang sudah menjadi Presiden RI seenak-enaknya saja. Ahok berkali-kali menunjukkan diri sebagai gubernur yang bisa kapan saja bertemu Presiden RI yang secara statistik melebihi gubernur-gubernur DKI Jakarta sebelumnya. Sehingga Ahok berhasil tetap nangkring di puncak kemasyuran seorang gubernur, sehingga tak ada lagi satupun dari puluhan juta anak-anak sekolah dasar dan menengah yang bisa menghafal nama seluruh gubernur di Indonesia.

***
… Ah, bukan hanya anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah, bahkan andapun tak hafal bukan? Bagaimana anda bisa menghafal, sementara saya saja yang dari tadi subuh menulis ini tak juga bisa menghafal?…

***

Iya, Ahok telah menguasai ruang hidup kita yang makin terbatas ini. Ia melakukan tindakan-tindakan, ucapan-ucapan, bahkan kebijakan-kebijakan yang tak umum yang jika dilakukan gubernur yang lain, bisa saja berarti celaka. Tahun 2015 yang lalu, batas waktu penyerahan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2016 kepada Kementerian Dalam Negeri terlewati. Entah bagaimana caranya, APBD DKI Jakarta 2016 sudah disahkan saja, padahal secara undang-undang mestinya menggunakan APBD tahun sebelumnya, yakni APBD 2015. Ahok, tentu mengarahkan anak panah kepada DPRD DKI Jakarta yang dipimpin oleh tokoh yang kini menjadi Ketua Tim Suksesnya sebagai pihak yang tak becus.

Tahun 2016 ini? Bukan malah terlambat menyerahkan RAPBD DKI 2017 – karena memang sudah bukan lagi tugas Ahok semasa cutinya –, malahan sejumlah proyek bernilai trilyunan sudah dilelang dengan menggunakan APBD 2017 yang bahkan rancangannya pun belum ada. Akhir tahun lalu, Ahok terlambat. Eh, akhir tahun ini, Ahok terlalu cepat.

Ahok memang terlihat begitu cepat, begitu ligat, bukan hanya dalam langkah dan ucapan, juga dalam menjalankan program-program. Saking cepatnya, ia tak sempat berdialog dengan pihak-pihak yang digusur. Saking ligatnya, ia bentangkan gambar garuda di teluk Jakarta, lalu saban hari kapal-kapal keruk menghisap butiran-butiran pasir di dasar dan pinggir laut, hingga menghancurkan habitatnya. Berkali-kali ia dikalahkan dalam persidangan, tetapi langkahnya terus menderu debu, bagai pasukan Gengis Khan yang meluluh-lantakkan Eropa dan Asia.

Ahok membangun, membangun, dan membangun, sampai tak satupun lagi orang-orang Jakarta yang berani meludah, sebagaimana sebutan “Foke” (baca: macet) dalam era gubernur sebelumnya. Walau, kefokean itu sudah sampai di teras rumah masing-masing. Dengan satu pulpen di tangannya, Ahok mengganti-ganti aturan berlalu-lintas, dari 3 in 1, sampai ganjil-genap, lalu diikuti laporan-laporan statistik yang untuk menguji validitasnya tak satupun kantong perguruan tinggi, lembaga studi atau lembaga swadaya masyarakat bisa mengongkosi.

Toh, APBD DKI Jakarta tak juga habis. Daya serapnya menurun. Bukan hanya itu, Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta ikut-ikutan menurun.

Jika begitu, apa yang keliru? Barangkali, lagi-lagi, soal hafalan saja. Kali ini, bukan soal Surat Al Maidah, tetapi nyanyian Indonesia Raya. Ahok barangkali menyanyikannya secara terbalik. Bukan lagi: “Bangunlah jiwanya! Bangunlah badannya! Untuk Indonesia Raya!”; melainkan: “Bangunlah Badannya! Lupakan jiwanya! Untuk Jakarta Saya!”…

Rabu, 02 November 2016

Related posts