
Oleh: Fathorrahman*
Hubungan Islam dan Pancasila sejatinya tidak memiliki masalah yang prinsipil. Para perumus Pancasila hampir semuanya tokoh-tokoh Muslim. Dari golongan Muhammadiyah terdapat nama Ki Bagus Hadi Kusumo, dari NU terdiri atas KH Wahid Hasyim dan KH Masykur. Mereka merupakan Anggota Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. Hal ini berarti dengan sendirinya mereka ikut aktif dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, umat Islam tetap bersikap tegas dan lugas dalam mendudukkan posisi Pancasila itu secara tepat dalam kehidupan mereka. Umat Islam menyatakan, Pancasila bukanlah agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk mengganti kedudukan agama.
Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Bagi Umat Islam, agama Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
Oleh karena itu penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya Umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya. Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari sikap tersebut umat Islam menyadari sepenuhnya dan berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya secara murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Pandangan seperti ini sudah menjadi pandangan umum kalangan Islam sebagaimana telah dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H yang bertepatan dengan 21 Desember 1983. Karena itu umat Islam selalu bertekad untuk mempertahankan sikapnya itu disaat Indonesia mendapatkan ancaman oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI.
Sebagai salah satu perumus Pancasila, para tokoh Umat Islam menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dimonopoli Orde Baru melalui P4 dan turunan tafsirnya. Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara dan menjadi milik bersama sebagai falsafah bangsa.
Pancasila dalam perkembangannya selalu menghadapi tantangan yang tidak mudah. Ada banyak ancaman, tantangan, halangan dan gangguan yang membutuhkan kreativitas dan ketangguhan untuk mengatasinya. Dan dalam perjalanan itu pula Umat Islam selalu ikut berperan menyelamatkan Pancasila demi keutuhan seluruh bangsa.
Tapi harus tetap diakui juga munculnya beberapa soal dari kalangan tertentu umat Islam. Meski hanya terdiri kelompok kecil kalangan umat, sikap mereka yang berbeda dalam menafsirkan dan menyikapi Pancasila adalah sesuatu yang menimbulkan kerisauan di kalangan umat maupun kaum sekuler. Dari sejak gerakan Darul Islam (DI/TII) hingga Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) muncul alasan kecurigaan tehadap Umat Islam yang kesetiaan mereka kepada Pancasila menjadi wacana politik yang merisaukan.
Sehubungan dengan merebaknya gerakan-gerakan radikal — bersamaan dengan makin menonjolnya kegiatan ISIS dan rentetan teror yang melanda Indonesia dan dunia– kerisauan makin mengganggu integritas NKRI. Dalam rangka itu perlu serangkaian diskusi membicarakan fenomena muncul dan merebaknya perbedaan sikap dan penafsiran Islam terhadap Pancasila. Pertanyaan mendasar yang perlu dibicarakan sekarang, bagaimana menjelaskan — mengakurkan? — tafsiran Islam dalam alam Pancasila? Kalangan radikal banyak mengutip ayat dan menekankan tradisi Islam yang bertolak dari pengalaman politik serta tradisi Islam zaman pra Pancasila.
Dengan pendekatan seperti itu akan selalu mudah menonjolkan perbedaan Islam dengan Pancasila. Sejumlah ayat dari al Quran bisa dan sering dikutip pada sejumlah hotbah Jumat dan banyak pengajian yang menafsirkan bahkan menekankan perbedaan Islam dengan Pancasila. Berdasar tafsiran demikian, tidak sulit menunjukkan dan menuduh ada dan berkembangnya sikap anti Pancasila, anti pluralisme di kalangan tertentu masyarakat Islam.
Bagi mayoritas Umat Islam, tuduhan dan tudingan sebagai kelompok yang tidak toleran dan anti kebhinekaan sangat merisaukan. Fakta yang sesungguhnya, mayoritas Umat Islamlah yang sangat toleran dalam menghadapi perkembangan dan dinamika kemajemukan bangsa Indonesia. Andai saja Umat Islam tidak toleran , maka Negara Republik Indonesia ini jelas tidak akan berdasarkan Pancasila yang menekankan kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia. Inilah sebabnya Almarhum Let.Jen TNI Alamsyah Prawiranegara — Menteri Agama waktu itu — pernah menyebut Pancasila sebagai hadiah dari Umat Islam kepada NKRI.
Bagaimana perkembangan relasi Islam dan Pancasila saat ini? Bagaimana memahami dinamika yang berkembang di kalangan Umat Islam saat ini? Bagaimana sebaiknya elit penguasa Indonesia menyikapi untuk kemudian mengatasi tantangan dari dalam kalangan tertentu Umat Islam ini? Inilah soal yang perlu kiranya menjadi perhatian kita semua untuk mencari solusi terbaik bagi bangsa dan negara.
*Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang