
Oleh: Ukas Suharfaputra
Dosen Universitas Kuningan (UNIKU), Peminat Filsafat Sosial dan Ekonomi. Wakil Ketua ICMI Orda Kuningan
Sejatinya pembangunan adalah upaya mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Upaya itu harus merasuk pada seluruh matra manusia (sosial, ekonomi, budaya, psikologi, spiritual, dll.) yang terpasang sebagai bagian dari kodrat manusia itu sendiri.
Seluruh matra kemanusiaan itu didorong untuk mencapai kondisinya yang paling sempurna sehingga manusia dapat mengecap kesejahteraan paripurna. Hal ini berarti pembangunan harus bersifat holistik dan diarahkan pada pewujudan manusia bahagia secara utuh. Pembangunan adalah upaya manusia memanusiakan dirinya sendiri.
Namun, sejalan dengan sejarah, praksis pembangunan ternyata telah melenceng dari roh dasarnya itu. Pelaksanaannya cenderung menyimpang dari orientasi pokoknya memanusiakan manusia. Pembangunan mengalami de-humanisasi dengan melupakan manusia sebagai tujuannya. Sebaliknya, pembangunan telah mereduksi dan mengalienasi diri dari ketersambungannya dengan hakikat kemanusiaan, menjadi hanya sekedar sekumpulan besar mekanisme teknis.
Paling tidak terdapat 3 (tiga) gejala yang menunjukan adanya dehumanisasi pembangunan, yaitu sindrom penukarposisian sarana (alat) sebagai tujuan dan sebaliknya; pengagungan ukuran kuantitatif sebagai pemasti sukses pembangunan (kuantitatifisme); dan Subordinasi dan inferiorisasi dunia etis dan estetis dibawah dunia akal kognitif (rasionalitas); Masing-masing gejala itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Penukarposisian antara sarana (mean) dan tujuan (goal) secara tanpa disadari telah mewabah hampir pada semua tingkat pembangunan, dari tingkat ideal-visioner sampai dengan tingkat teknis-operasional. Pada tingkat ideal-visioner, manusia yang seharusnya menjadi tujuan ditempatkan sebagai sarana, sedangkan rumusan abstrak cita-cita pembangunan yang semestinya berperan sebagai alat pemandu justru dijadikan tujuan (kosong) itu sendiri.
Redaksional cita-cita pembangunan—contoh: masyarakat yang adil dan makmur; masyarakat yang maju dan mandiri—seharusnya hanya sekedar pengungkapan lain dari tujuan memanusiakan manusia. Artinya ungkapan itu adalah “kulit wajah” yang menapak pada “kepala” kemanusiaan sebagai tempat bertenggernya.
Rumusan cita-cita pembangunan dan manusia sebagai tujuan hakiki pembangunan tidak dapat dipisahkan. Namun yang terjadi keduanya kemudian dipisahkan bahkan dipertentangkan pada posisi bersebrangan. Pernyataan (redaksional) cita-cita pembangunan secara ilusif dianggap memiliki esensi tersendiri yang terlepas dari manusia-manusia kongkrit saat ini.
Rumusan cita-cita itu dianggap keadaan yang tidak hadir saat ini dan tidak mencerminkan kebutuhan manusia-manusia saat ini. Dia ada jauh di depan sana dan harus dikejar serta dibangun mati-matian. Manusia-manusia saat ini adalah bahan baku, alat, perkakas atau batu-bata yang harus berkorban demi perwujudan cita-cita itu. Maka, jadilah manusia sebagai tujuan malah menjadi alat, dan ungkapan cita-cita atau mimpi yang seharusnya sekedar alat malah jadi tujuan (yang cenderung kosong atau biasanya jadi retorika politik).
Kealpaan penukarposisian tersebut diteruskan di tingkat teknis-operasional. Kesuksesan paket kebijakan dan program pembangunan di semua bidang dijadikan tujuan. Semua sumberdaya, termasuk manusia itu sendiri dijadikan alat untuk mencapainya. Lagi-lagi manusia jadi alat mencapai sesuatu (tujuan) yang seharusnya menjadi sarana bagi penciptaan kesejahteraannya. Maka sebagai alat, manusia dimobilisasi untuk menyuksesan beragam program teknis melalui mantra pembangunan yang disebut partisipasi masyarakat. Manusia harus menyukseskan program, bukan sebaliknya. Dalam kubangan paradigma ini, tidak heran jika program-kegiatan pembangunan yang dianggap sukses justru bisa menistakan manusia.
Seorang tua di pinggiran kota berkata: “Sejak adanya pembangunan, saya menjadi tergusur dan tidak punya tempat tinggal”. Pembangunan mulai linglung karena kehilangan arah dari tujuan hakikinya.
Gejala penunjuk dehumanisasi pembangunan berikutnya adalah pengagungan ukuran kuantitatif. Ukuran hakiki keberhasilan pembangunan adalah penghayatan personal-eksistensial manusia yang mengecap buah kesejahteraan dari pembangunan. Namun, karena dalam lingkup kolektif-agregat diperlukan alat evaluasi keberhasilan, maka diciptakanlah indikator-indikator kuantitatif sebagai petunjuk kasar (umum) tidak langsung (proxy) atas keadaan pembangunan keseluruhan. Sayangnya kemudian, ukuran-ukuran itu tidak lagi ditempatkan sebagai alat bantu, sebaliknya bahkan dianggap sebagai pantulan asli dari keberhasilan/kegagalan pembangunan.
Karena itu, membangun kemudian dimaknai sebagai mengejar ukuran-ukuran kuantitatif itu setinggi-tingginya (untuk aspek positif) atau serendah-rendahnya (untuk aspek negatif).
Pembangunan dianggap sukses sempurna jika berhasil mencapai target-target angka itu: Pendapatan nasional, angka pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Ini-lah kuantitatifisme. Hal ini membuat teknokrat pembangunan lupa untuk memeriksa langsung bagaimana sesungguhnya manis-pahitnya hasil pembangunan dihayati secara kongkrit oleh manusia yang membumi.
Kemilau prestasi angka-angka membuat mereka menihilkan penderitaan dan ketertinggalan kemanusiaan sebagai kasus-kasus pengecualian. Membangun untuk memanusiakan manusia mulai terabaikan diganti dengan membangun untuk mengejar angka-angka.
Pembangunan dijiwai oleh semangat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan pada akal logis-positifistik atau rasionalitas kognitif ilmiah. Akal ini didasarkan pada penalaran sebab-akibat dan diarahkan untuk mengontrol segala sesuatu secara teknis berdasarkan azas efisiensi dan efektifitas.
Ini baik sejauh digunakan secara wajar untuk memakmurkan dunia material manusia. Namun ketika, dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa akal inilah yang paling tepat untuk menalar semua hal, sehingga harus jadi hakim bagi akal lainnya, yaitu akal baik-buruk (etis) dan akal keindahan (estetis), maka de-humanisasi pembangunan-pun terjadi. Penerapan ukuran etis (moralitas) dalam kehidupan semakin meyempit karena hampir semua bidang kehidupan dihakimi berdasarkan akal kognitif. Bahkan keabsahan keputusan akal etis ini pun seringkali ditentukan oleh akal kognitif. Dunia moralitas berada dalam kendali dunia rasionalitas kognitif (subordinasi) dan kebermaknaannya dalam kehidupan semakin menurun dan diabaikan (inferiorisasi).
Manusia dalam pembangunan yang salah kaprah ini dipaksa untuk keluar dari kodratnya. Dia dirancang memiliki kecermelangan intelektual namun pada saat yang sama hati, emosi dan spiritualitasnya dimiskinkan. Dia diarahkan menjadi manusia monodimesional. Padahal secara kodrati manusia adalah makhluk multidimensional yang dituntut memiliki semua dimensi akal itu secara seimbang. Pembangunan bukannya memanusiakan manusia, bahkan mereduksi manusia dari kodratnya yang utuh. ***