Belum Ada Harmonisasi Serikat Pekerja dan Pengusaha

JABARTODAY.COM – BANDUNG Kajian mengenai konstruksi konsep baru kebebasan berserikat melalui serikat pekerja pada hubungan industrial berbasis nilai keadilan menuju kesejahteraan pekerja belum dilakukan oleh para pakar dan ahli hukum ketenagakerjaan. Padahal, ini penting mengingat belum terciptanya harmonisasi antara kesejahteraan pekerja dengan hubungan industrial.

Beberapa indikator yang menunjukkan tidak harmonisnya hubungan industrial tersebut adalah masih banyaknya peristiwa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja sehingga berakibat pada turunnya produktivitas perusahaan, perselisihan hubungan industrial, adanya perusahaan yang melakukan relokasi usahanya ke negara lain, bahkan tidak sedikit perusahaan yang menutup usahanya karena tidak baiknya hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerjanya.

Secara legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5 Tahun 1998 tentang pendaftaran serikat buruh, yang sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Depenas Gaspermindo Bambang Eka dalam Seminar Nasional bertema “Rekonstruksi Konsep Kebebasan Berserikat melalui Serikat Pekerja pada Hubungan Industrial Berbasis Nilai Keadilan menuju Kesejahteraan Pekerja”, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP Unpad, di Ruang Bale Sawala, Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran, Selasa (30/5).

Peneliti Labour Working Group, Mansyur Riansyah, menambahkan, Persaingan usaha di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit membuat perusahaan mengembangkan strategi produksi yang mengutamakan efisiensi, dan langkah yang paling mudah adalah dengan memangkas biaya tenaga kerja, yang jelas semakin tidak menguntungkan bagi serikat buruh. “Modal dan korporasi semakin besar pengaruruhnya dalam menentukan warna dan sistem hubungan industrial. Dengan lahirnya kebijakan pemerintah melalui UU Ketenagakerjaan dan Kebebasan Berserikat sangat berpengaruh terhadap gerakan serikat pekerja,” tukas Mansyur.

Sementara itu, Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional Jawa Barat Iyan Sofiyan mengungkap, beberapa regulasi yang mengatur tentang serikat buruh belum benar-benar menyentuh terhadap substansi agar para pekerja tidak terintervensi hak-haknya dalam berorganisasi dan berunding bersama, terbukti dengan jumlah pekerja yang berorganisasi masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang ada.

“Buruh meminta jaminan perlindungan, bukan memberikan peluang yang seluas-luasnya untuk tumbuh serikat-serikat baru sementara jumlah buruh yang berserikat tetap tidak bertambah,” sahut Iyan.

Dalam pandangan akademis, dosen FISIP Unpad Antik Bintari menuturkan, buruh yang bekerja di sektor industri, sektor migran, pekerja rumah tangga adalah perempuan. “Berbicara serikat pekerja, jika ada pembuatan kebijakan, maka buruh perempuan dan anak harus menjadi prioritas. Dan, tidak hanya secara parsial, tapi juga harus berkesinambungan,” tandas Antik. (*/rls)

Related posts