JABARTODAY.COM – Politisi senayan kini mulai banyak yang menulis buku. Beberapa pekan lalu, Idrus Marham juga menulis buku. Hal ini tentu saja fenomena menarik. Hari ini, Minggu (10/9) Bambang Soesatyo kembali meluncurkan buku barunya dengan judul yang sangat kocak, “Ngeri-Ngeri Sedap”. Kali ini buku Bambang itu bernomer ke 13. Kalau saja ada sayembara siapa anggota parlemen yang paling banyak menulis buku, maka Bambang Soesatyo-lah pemenangnya.
Sebagai politisi, Bambang Soesatyo terbilang politisi senayan yang rajin sekali menulis. Analisis-analisisnya tentang berbagai kasus yang berkenaan dengan komisi yang dibidanginya itu selalu muncul di media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebagai mantan seorang wartawan, menulis itu adalah perkara kebiasaan sehari-hari. Hari-hari seorang wartawan itu tidak pernah lepas dipikirannya dari masalah-masalah publik. Lalu bagaimana dengan buku-bukunya yang meluncur deras selama ia menjadi anggota dewan?
Justru itulah menariknya. Ia terbilang seorang pejabat negara dengan kesibukan yang tinggi, namun masih tetap memiliki kemampuan manajerial untuk mendokumentasi pikiran-pikirannya dalam tulisan-tulisan populer. Tentu saja ia memiliki tim yang kuat untuk mendokumentasikan itu semua. Hal seperti ini ternyata tidak banyak pejabat negara yang bisa melakukannya.
Artiya Bambang punya kepedulian untuk terus merespon fenomena politik yang dihadapinya dalam ruang-ruang akademis, dengan nalar seorang politisi yang meniti jalan setapak demi setapak. Dikabarkan bahwa Bambang Soesatyo baru bisa memasuki ruang parlemen setelah ia empat kali mengikuti pemilu legislatif.
Lalu mengapa ia begitu rajin menulis buku? Apakah ini sebuah ambisi tertentu seorang Bambang untuk membedakan dirinya dengan anggota DPR yang lain. Apakah kegiatan itu adalah ikhtiar dia untuk menjadi bagian penting dalam sejarah politik Indonesia yang kian tak bermutu? Lalu ia berusaha keras untuk membuat catatan-catatan kritis tentang dinamika politik yang dialaminya. Apapun ceritanya, langkah Bambang ini adalah terobosan yang baru dalam politik Indonesia masa kini. Dan menulis buku adalah tradisi intelektual yang positif bagi pencerdasan bangsa. Dahulu, para politisi kita juga banyak yang menulis buku, sebut saja Soekarno, Bung Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Prawoto Mangkusasmito, M. Natsir, hingga Dahlan Ranuwiharjo. Apakah Bambang terinspirasi oleh tokoh-tokoh masa lalu itu? Wallahu A’lam. Yang pasti, sebagai anggota dewan, ia telah berbuat benar. Mengapa?
Karena suatu saat nanti, catatan-catatan kritis lelaki ganteng yang akrab dipanggil Bamsoet itu, akan menjadi jejak-jejak politik yang menyejarah. Kelak akan ada para peneliti, para surveyor, para ahli sejarah yang akan mencatatnya dalam buku-buku sejarah politik Indonesia. Hari-hari ini mungkin buku itu akan dianggap sebagai kabar biasa saja. Namun yakinlah suatu saat nanti, buku Bamsoet itu akan dicari para peneliti, para sejarawan, dan para mahasiswa Fisipol untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dari waktu ke waktu dalam dinamika politik Indonesia pasca reformasi bergulir.
Pada saatnya nanti buku Bambang yang berasal dari catatan-catatan mingguan itu akan kembali hidup dalam alam pikiran para akademisi, lalu diabdikan dalam skripsi, tesis, bahkan disertasi. Dan selamat menulis, lalu menulis, dan terus menulis. Karena sejarah adalah sesuatu yang harus ditulis. Karena ditulis itu maka Anda itu ada. Selamat buat Mas Bambang atas bukunya yang ke 13. (Fathorrahman Fadli)