“Itu karena tax amnesty menjadi kesempatan para wajib pajak yang belum melaporkan hartanya. Atau, para wajib pajak yang merasa belum menyelesaikan kewajiban pajaknya secara baik selama ini,” tandas Bambang.
Menurutnya, mulai Senin (18/7), sebenarnya, pendaftaran tax amnesty di seluruh Indonesia, bergulir. Tempatnya, kata Bambang, di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), baik peayanan repatriasi (penarikan dana dari luar negeri) maupun deklarasi (pelaporan aset).
Syarat pertamanya, sambungnya, pendaftar pengampunan pajak harus mengantungi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak sedang menjalani proses peradilan bidang perpajakan.
Diutarakan, bagi yang belum punya NPWP, kepemilikan dapat melalui proses secara langsung di KPP saat mendaftar.”Kami imbau, perusahaan atau individu yang belum mendaftarkan aset atau menyimpan dananya di luar negeri, sebaiknya, manfaatkan masa 3 bulan pertama ini secepatnya. Soalnya, adanya pemberlakuan dana tebusan paling rendah, yaitu 2 persen,” paparnya.
Dia menilai, hal ini lebih menguntungkan. Pada 2018, ucap dia, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membuka data lengemplang pajak. Pada 2018, tambahnya, kondisinya lebih berat karena wajib pajak harus membayar denda, bunga, dan sanksi.
Bambang meneruskan, berkenaan dengan hal itu, bersama DPR, pemerintah yang menyepakati UU Pengampunan Pajak karena dapat mendukung tumbuhnya ekonomi, bekerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Kerjasama itu, terangnya, melalui Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA). Adanya kerjasama itu, tuturnya, Ditjen Pajak mengetahui data-data nasabah Indonesia yang ada di AS dan sebaliknya.
Namun, tegas Bambang, para wajib pajak, baik individu maupun korporasi, jangan melakukan aksi nakal, utamanya, yang berkaitan dengan nilai asset yang dilaporkannya. “Pun dengan perbankan persepsi. Untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi data, kami meneken kontrak dengan perbankan-perbankan yang menjadi bank persepsi,” seru Bambang.
Diutarakan, apabila ada pelapor Tax amnesty yang terbukti melakukan rekayasa asset, tentu sanksi menanti. Bentuknya, kata Bambang, denda sebesar 200 persen. (ADR)