JABARTODAY.COM – BANDUNG – Sejauh ini, di Indonesia, masih banyak kendala yang mendera kalangan pekerja dan buruh. Tantangan terkini saat era pasar bebas, termasuk terbentuk dan bergulirnya ASEAN Economic Community (AEC) alias Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kalangan pekerja dan buruh tanah air harus mengalami kenyataan. “Mereka harus bersaing dengan tenaga kerja asing (TKA). Ada beberapa sektor yang dibanjiri TKA. Antara lain, tambang, properti, konstruksi,” tandas Abdul Karim, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Pekerja PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk (Persero) alias Sekar Telkom, dalam keterangan resminya, Senin (1/5).
Abdul Karim meneruskan, tidak tertuup kemungkinan, masuknya para TKA juga terjadi pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Tentunya, lanjut Abdul Karim, kondisi itu mempersempit peluang angkatan kerja baru. Tidak itu saja, sambungnya, posisi tawar para pekerja dan buruh lokal pun makin tertekan.
Abdul Karim menegaskan, situasi yang berkembang dalam sektor ketenagakerjaan itu membuat negara harus lebih hadir. Menurutnya, negara harus memiliki strategi jitu untuk melindungi sekaligus mengangkat posisi tawar para pekerja dan buruh domestik.
Akan tetapi, sambungnya, strategi negara melindungi kaum pekerja dan buruh masih banyak kerikil dan tidak berjalan mulus. “Itu terjadi karena selalu mendapat perlawanan pihak lain, yaitu pemberi kerja atau pemilik modal, baik secara terang-terangan, umpamanya, menggugat putusan pemerintah yang salah satu contohnya, berkenaan dengan Upah Minimum Regional (UMR), maupun sembunyi-sembunyi. Umpamanya, melalui berbagai aksi lobi sejak proses legislasi,” paparnya.
Abdul Karim berpandangan, ada hal lain yang masih menjadi kerikil para pekerja dan buruh tanah air, yang ironis, yaitu justru terjadi pada level negara. Pasca terjadinya tsunami, langkah bangsa ini semakin menjauhi cita-cita luhur para pendirinya. Langkahnya, kata dia, cenderung melapangkan jalan menyimpang. Saat Orde Baru, pemerintah bersandar pada keinginan Bank Dunia dan International Moneter Fund (IMF), termasuk jaringan-jaringannya.
Sedangkan era reformasi, ucapnya, negara ini terkesan tunduk pada keinginan pihak asing secara lebih massif. Contohnya, terang dia, adanya revisi beberapa perundang-undangan, yang satu di antaranya, UU 13/2003, yang mencantumkan aturan soal outsourching. “Perundang-undangan bidang-bidang strategis lainnya pun mengalami reduksi, misalnya mengenai ketenagalistrikan dan telekomunikasi,” seru Abdul Karim.
Memang, pemerintah saat ini memberi asa positif seiring dengan adanya Nawacita. Bangsa ini, sahutnya, memulai program turn-around, yakni kembali pada identitasnya mandiri, berdaulat, dan berkepribadian. Meski begitu, program itu tidak mulus karena dapat berefek pada penjuru kepentingan, sehingga tidak mustahil banyak pihak yang terganggu.
“Secara kasat mata, terganggunya kepentingan-kepentingan terlihat. Contohnya, kasus Freeport. Karenanya, kaum pekerja sebagai elemen bangsa, khususnya, pekerja BUMN, lebih berperan membawa misi besar, selain kesejahteraan anggota-anggotanya, juga mendorong dan terwujudnya kemandirian dan kedaulatan ekonomi,” tutupnya. (win)