JABARTODAY.COM – BANDUNG

Wajar bila Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) terus memunculkan polemik sejak diusulkan pemerintah tujuh tahun silam. Maklum, RUU tersebut memang sudah cacat sejak awal. Lazimnya, sebuah pengajuan RUU turut disertai naskah akademik. Nah, RUU Kamnas ini melenggang tanpa campur tangan pemikir di perguruan tinggi.
“RUU Kamnas juga sudah salah kaprah sejak awal dalam penggunaan istilah atau term. Dikotomi pertahanan dan keamanan tidaklah tepat untuk memisahkan peran militer dan polisi. Di Indonesia, kesalahan ini sudah mengakar karena polisi lama berada di bawah organisasi TNI,” kata Ari Bainus, pengamat politik dan militer Universitas Padjadjaran (Unpad), saat menjadi pembicara dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Ada Apa dengan RUU Kamnas? di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Kamis (2/8) malam.
Ari yang juga mengajar di sekolah staf dan komando (Sesko TNI) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sempimpol) menilai dikotomi pertahanan dan keamanan lebih bernuansa kepentingan manajerial ketimbang penggunaan istilah secara tepat. Menurutnya, pertahanan merupakan salah satu komponen dalam keamanan. Dalam hal ini, penetapan keamanan sebagai tugas pokok dan fungsi (Topoksi) kepada polisi merupakan sebuah kekeliaruan.
“Polisi itu aparat sipil, bukan militer. Secara filosofis, polisi menjalankan fungsi law and order, penegak hukum dan penjaga ketertiban. Tidak ada tambahan security atau keamanan di dalamnya. Hanya di Indonesia tugas polisi menjalankan fungsi-fungsi keamanan,” tandas Ari.
Dalam FGD yang digagas Lingga Institute dan Aliansi Mahasiswa Aktivis Jawa Barat ini Ari menjelaskan, RUU Kamnas yang sekarang masih terus berpolemik lahir dari spirit pertahanan negara dari segala ancaman. Bila dicermati, naskah RUU Kamnas mirip dengan National Security Act di Amerika Serikat yang lahir pada era Perang Dingin di mana kecurigaan terus menghantuui negara adidaya tersebut.
Nah, ketika National Security Act yang tendensinya ke arah keamanan negara (state security) mulai bergeser ke human security atau keamanan manusia, di Indonesia tidak demikian. Semangat yang diusung RUU Kamnas masih sarat dengan kesan keamanan negara. Akibatnya, peran warga negara menjadi tereliminasi oleh kepentingan keamanan negara. Kalau sudah begitu, muncul potensi akan timbulnya tindakan represif dari aparat keamanan kepada masyarakat, terutama elemen kritis, atas nama menjaga keamanan negara.
“Pada akhirnya saya harus menyatakan bahwa UU Kamnas itu perlu selama memperhatikan kesetimbangan keamanan manusia atau warga negara. Tanpa itu, RUU Kamnas hanya akan menjadi alat untuk menekan hak-hak warga negara,” Ari menegaskan.
Kolega Ari yang juga menjadi salah satu pembicara, Muradi, mengungkap adanya persaingan antara kekuatan militer dan kepolisian. Akibatnya, RUU Kamnas yang mengedepankan superioritas militer mendapat penolakan kepolisian. Hasilnya, terus terjadi tarik ulur di kalangan petinggi militer maupun kepolisian.
“Bila diidentifikasi, ada tiga kelompok di kalangan kepolisian dalam menyikapi RUU Kamnas. Ada yang pro, mereka siap untuk bersaing, survival of the fittest. Ada yang menolak, apapun dari TNI ditolak. Ada yang menunggu perkembangan. Sampai naiknya Kapolri sekarang, Polri secara institusi menolak,” kata Muradi.
Muradi menilai RUU Kamnas merupakan upaya TNI untuk kembali memegang kekuasaan nasional. Alasannya, sejak disapihnya Polri dari ABRI, peran kepolisian semakin naik, sementara TNI makin kecil. Kondisi ini makin pelik ketika dihubungkan dengan kepentingan ekonomi.
“Pada masa Orde Baru, anggaran ABRI dibagi menjadi empat pos: 45 persen angkatan darat (AD), angkatan laut (AL) dan angkatan udara (AU) masing-masing 25 persen, dan sisanya 5 persen diberikan kepada kepolisian. Sekarang posisi TNI dan Polri setara. Di beberapa daerah, anggaran dari pemerintah daerah kepada kepolisian lebih besar dari TNI. Dalam APBD Kota Bandung misalnya, anggaran untuk kepolisian Rp 3,4 miliar, sementara untuk TNI hanya puluhan juta, sepersepuluhnya anggaran polisi,” kata Muradi.
“Dulu, rapat muspida tidak akan dimulai sebelum kedatangan Dandim atau Pangdam. Sekarang tidak lagi, yang penting ada Kapolda atau Kapolres. TNI bisa saja ditinggalkan. Maklum, keamanan daerah merupakan domain kepolisian. Cerita lainnya, sekarang para Kapolres rata-rata berpenampilan rapi dan wangi, mobilnya SUV (sport utility vehicle). Sementara itu, masih ada komandan militer yang menggunakan sepeda motor,” tambah dia.
Doktor lulusan Flinders University ini menambahkan, salah satu pemicu tarik ulur RUU Kamnas karena memang Polri tidak memiliki konsep. Akhirnya, muncul friksi di kalangan petinggi kepolisian menyikapi RUU tersebut. Padahal, imbuh dia, RUU Kamnas sebenarnya mendorong penguatan lembaga sipil atau sipilisasi.
Sementara itu, Koordinator Lingga Institute Danis Tri Saputra menilai RUU Kamnas menjadi ancaman bagi elemen kritis. Subtansi RUU membuka potensi tindakan represif para aktivis pergerakan termasuk kelompok mahasiswa. Hal ini tidak lepas dari luasnya definisi ancaman dalam RUU tersebut.
“Luasnya definisi ‘Ancaman’ memungkinkan penguasa untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dicap sebagai ancaman ‘tidak bersenjata’ yang aktual maupun potensial. Dalam pasal 1 secara tegas dinyatakan lebih spesifik bahwa siapapun dan apapun yang ‘membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok’ bisa digunakan untuk menjalankan peran TNI dan BIN dengan tindakan represifnya yang tanpa rambu-rambu peraturan perundang-undangan untuk mengeliminasi kelompok-kelompok masyarakat yang dinggap mengancam keselamatan individu, kelompok, dan mengatasnamakan negara,” tegas Danis.
Karena itu, sambung Danis, bukan tidak mungkin akan muncul petrus atau penembakan misterius kepada elemen kritis seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru lalu. Ruang lingkup, identifikasi ancaman dan unsur Kamnas terlalu luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kerja dan fungsi antaraktor keamanan. Definisi ancaman tersebut menjadi salah satu dari 14 ayat dalam RUU Kamnas yang oleh lembaga pemikir politik dan militer tersebut bermasalah.
“Ini menjadi ancaman bagi kelangsungan demokrasi. Kami menolaknya,” tegas Danis.(NJP)