Nasib Bangsa dan Akumulasi Ketidakpuasan

Oleh : Zainal Bintang

Hiruk pikuk tahun politik memasuki babak penting, telah dilakukannya penentuan nomor urut paslon (pasangan calon) melalui cara undian. Hasilnya menetapkan  Jokowi-Ma’ruf Amin dapat nomor urut 01 dan Prabowo Subianto -Sandiaga Uno nomor urut  02. Peristiwa bersejarah yang cukup penting itu terjadi gedung KPU (Komisi Pemilhan Umum), Menteng Jakarta Pusat, Jumat malam (21/09).

Terus terang harus diakui, sesuai faktanya paslon petahana (Jokowi) secara defacto dan dejure menguasai seluruh instrument, perangkat, aparatus dan fasilitas negara. Sang petahana adalah pemegang kekuasaan tertinggi kendali semua sistem. Posisi petahana ada di pelataran kekuasaan.

Sebaliknya paslon kedua adalah kompetitor (Prabowo) yang sering dianalogikan sebagai oposisi. Semua orang tahu oposisi bergerak dan berjoang atas swadaya, keringat dan tenaga sendiri. Sumber logistik dari upaya pribadi, kerabat, relasi, simpatisan. Kekuatan pendukung logistik oposisi bersumber dari “mata air” non negara

Secara  alamiah di dalam kubu oposisi terjadi konsolidasi potensi moril dan materiel yang masif. Kekuatan non negara itu terbangun atas nama rasa senansib dan sepenanggungan. Sebuah konsolidasi metafisis yang mampu memobilisasi aneka potensi lintas komunitas menjadi kekuatan  kebangkitan ; kekuatan perlawanan.

Sebagaimana kita ketahui, teori kekuasaan merumuskan bahwa yang namanya kekuasaan itu  adalah kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan.

Menurut para pakar sosiologi, setiap  perlawanan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat  atau individu pada dasarnya bersumber dari faktor antara lain, mereka  yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka.

Sesumgguhnya pesta demokrasi lima tahunan jika dilihat dari sudut objektifitasnya sangat bagus. Lantaran mengisyaratkan terjadinya  peluang bagi rakyat untuk menguji ulang pilihannya. Akan berlangsung sebuah audit kinerja yang demokratis.  Apakah, – rakyat itu ,- masih akan  bersepakat (suara terbanyak) memperpanjang mandat petahana ; ataukah pemilik mandat (rakyat) memandang perlu pemimpin lain yang baru untuk mengisi kekuasaan baru.

Di dalam konteks menakar tinggi rendahnya kadar semangat pergantian kekuasaan itu, harus dilihat seberapa jauh intensitas kekuatan di luar pemerintah (oposisi) selama ini melakukan pergerakan, memantau, mencatat dan menyuarakan ketidak puasan terhadap kinerja petahana (kekuasaan) : Seberapa besar akumulasi  ketidakpuasan itu terinvestasi? 

Faktanya publik sering merasakan  konsolidasi kubu petahana kurang maksimal. Terlihat kurang efektif  menggunakan instrument formal negara yang tersedia. Hal itu membuka ruang kosong yang secara jeli diisi oleh kubu oposisi dengan isu – isu antitesa.

Sangat disayangkan kerap kali terjadi ketegangan sosial dan politik di ruang public yang menimbulkan “benturan” terbuka antara kubu petahana dengan kubu oposisi. Benturan terbuka itu berpotensi merusak wibawa petahana. Bahkan  mendegradasi legitimasi politiknya.

Secara objektif harus diakui beberapa program dan kinerja petahana dalam berbagai bidang dinilai cukup bagus. Namun mengalami distorsi ketika berbenturan dengan nalar publik di ranah pemasaran.

Langkah terobosan presiden Jokowi membangun berbagai infrastruktur (jembatan, pelabuhan, bandara dan jalan tol) dinilai cukup tepat sebagian masyarakat. Karena bertujuan mengejar ketertinggalan  pembangunan kesejahteraan.

Namun sayangnya, program terobosan itu kurang “nendang”. Dikarenakan personil orkestra pendukung petahana kurang memiliki kemampuan daya jual yang tinggi. Strategi pemasaran mereka bersifat  kaku, steril  dan beraroma komando alias menggurui. Bahkan cenderung menafikan kontrol masyarakat.  Hal mana membuat  kekuasaan itu dijauhi rakyat.

Terkadang oknum pejabat teras Istana terjebak mengikuti irama gendang persekusi liar yang bertebaran di medsos. Memperluas  perang kata – kata dan caci maki ke ruang publik. Lebih memprihatinkan karena Istana lebih mempercayakan sektor jubir (juru bicara) yang sangat strategis itu di tangani “relawan” dadakan yang bicaranya serampangan.

Sejumlah “relawan” mendadak jubir. Bernafsu memaksakan rakyat mengunyah semua infromasi rekayasa. Bersifat cuek dan menghina etika dan  rasionalitas.

Artikulasi  atau diksi destruktif yang berhamburan tanpa kendali itu, malah menggerus simpati publik. Ruang publik tiap hari penuh dengan polusi diksi destruktif yang tidak ada  manfaatnya bagi jiwa dan otak rakyat. Bahkan  jadi sampah yang memperparah pembusukan oksiken demokrasi.

Dalam konteks Pemilu atau Pilpres, karena sejatinya yang diundi adalah nasib bangsa, maka adalah sangat arif dan bijaksana apabila kontestan Pilpres bersama timses (tim sukses) segera melakukan kontemplasi. Menyelam jauh ke dalam nurani paling bening untuk menemukan jalan tengah penuh kedamaian.

Kedua kubu hendaknya segera menghentikan semua kiat dan tampilan yang sarat persekusi. Baik yang terbuka maupun yang halus. Nasib bangsa yang sedang diundi perlu mendapat penghormatan tersendiri dan pemuliaan yang hakiki.

Bangsa besar ini jangan dibiarkan pecah oleh ulah jubir yang bibirnya anti kultur, yang tidak jelas elemen idealismenya. Berbicara seenaknya, liar dan berapi – api bagaikan musik tanpa ritme. Ini penting dicegah,  demi untuk menghindari meluasnya  kegeraman kolektif silent mayority.

Peristiwa rangkulan spontan namun menyimpan hikmat yang dalam antara Jokowi dan Prabowo pada acara Asian Games, adalah sebuah modal politik berbasis kultural yang perlu dikobarkan dari detik ke detik tanpa henti.

Semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta keluhuran Pancasila wajib menjadi wirid sehari – hari.  Mari bersepakat, bahwa mengundi nasib bangsa harus dimaknai sebagai rangkaian pemuliaan hasil mahakarya bangsa yang bernama : Proklamasi Kemedekaan itu!!

                *Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati sosial budaya

 

 

Related posts