Islam dan Keindonesiaan Kita

Oleh: Moksen Idris Sirfefa

Unjuk rasa Umat Islam Indonesia yang ramah dan damai

Indonesia itu identik dengan Islam sama dengan Amerika Serikat yang identik dengan Kristen. Setiap tahun pohon natal raksasa bertengger di depan White House dan Capitol Hill Washington DC dan menjadi simbol kultural Amerika yang diterima oleh semua orang Amerika yang pluralistik, tanpa harus dibayang-bayangi rasa bersalah dan intoleran terhadap golongan2 non-Kristiani Amerika.

Mengapa? Karena agama Kristen telah menjadi subkultur Amerika yang juga plural sama dengan Indonesia.

Islam di Indonesia pun telah menjadi subkultur masyarakat Nusantara. Idiom-idiom Islam seperti Assalamualaikum, Insya Allah, Alhamdulillah, yang muda memberi salam dan mencium tangan yang tua dan lain-lain adalah unsur-unsur Islami yang dipraktekkan oleh semua kalangan dan golongan masyarakat Indonesia yang plural itu tanpa merasa bahwa itu budaya Islam.

Budaya bendawi, kopiah, jilbab/hijab sudah bukan sesuatu yang asing di semua kalangan masyarakat Indonesia. Dan karena itu, ketika orang mengenakannya, tidak dibayang-bayangi rasa bersalah (guilty feeling) atau anti toleransi.

Islam di Indonesia pun senang atau tidak senang, formal atau tidak formal sudah menjadi agama negara. Di kompleks Istana Merdeka di Jakarta terdapat Masjid Baiturrahim yang indah. Perayaan hari-hari besar Islam di Istana Negara telah menjadi tradisi negara yang diatur secara keprotokoleran negara. Begitupun Presiden Indonesia akan selalu orang Indonesia yang beragama Islam tanpa harus ada ketentuannya di dalam konstitusi negara. Semua itu dihadirkan/diselenggarakan tanpa guilty feeling dan “rasa tidak enak hati” dengan keberadaan “tetangga seberang sungai” yang berbeda keyakinan dengan kita.

Semua merasa baik-baik saja dan tidak terganggu selama bertahun-tahun sejak kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi. Jadi, keindonesiaan kita tidak bisa dipisahkan dengan Islam dan unsur-unsur kebudayaannya. Kata-kata toleransi dan kebinekaan yang digadang-gadang sebagai senjata politik anti-Islam sebenarnya adalah ajaran paling fundamental Islam yang dipinjam untuk membunuh tumbuh-kembangnya kaum Muslimin.

Toleransi dan kebinekaan adalah keniscayaan Islam yang bukan saja menjadi slogan politik (seperti yang duganakan akhir-akhir ini) tetapi merupakan imperasi Islam. Keduanya memiliki landasan teologis yang kuat di dalam nash Kitab Suci milik umat Islam, Al-Qur’an. Boleh kita coba meminjam kitab-kitab suci “tetangga seberang kali”, adakah ajaran toleransi dan pluralisme di dalamnya?

Saya lagi merenung, mengapa akhir-akhir ini umat Islam ditakut-takutkan dengan idiom toleransi dan kebinekaan? Jangan-jangan ini adalah refleksi ketakutan juga dari “tetangga seberang sungai” agar mereka tetap berada disini, meskipun bagi umat Islam, mereka boleh hidup bersama asal jangan banyak tingkah.

Saya kira keindonesiaan kita akan tetap terjaga apabila “tetangga seberang sungai” itu mau menyadari bahwa mereka akan hidup aman di negeri ini apabila mereka bersedia menghormati, berbaik sangka dan “tidak macam-macam” dengan umat Islam.

 

Related posts