
JABARTODAY.COM – BANDUNG — Roda perekonomian nasional sepertinya menjadi lebih berat. Itu terjadi karena beberapa waktu lalu, rupiah mengalami depresiasi. Saat ini, mata uang republik ini menembus angka Rp 14.000 per Dolar Amerika Serikat (AS).
“Memang, penguatan Dolar AS berdampak pada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. Tapi, sebaiknya, pemerintah, termasuk Bank Indonesia (BI) segera melakukan berbagai langkah kongkrit guna menyikapi masalah ini,” tandas pengamat eKonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartibi, Rabu (9/5).
Acu, sapaan akrabnya, berpandangan, untuk menyikapi masalah ini, sebaiknya, pemerintah lebih mendorong sektor riil secara lebih optimal. Saat ini. Acu menilai, lebih terfokus pada sektor jasa keuangan dan pasar modal. “Ini repot. Semestinya, sektor riil yang lebih didorong. Sejauh ini, dorongan bagi sektor riil belum optimal,” kritik Acu.
Salah satu indikatornya, ujar dia, BI lamban menurunkan suku bunga. Menurutnya, apabila suku bunga turun, hal itu dapat lebih menggerakkan sektor riil. Efeknya, rupiah dapat menguat.
Acu menduga, ada pihak-pihak yang tidak menginginkan BI belum menurunkan suku bunga. Bahkan, sahutnya, pihaknya mendapat informasi bahwa BI justru berencana menaikkan suku bunga. Apabila BI memang benar berencana menaikkan suku bunga, Acu menyatakan, kondisi itu makin memberatkan masyarakat.
Acu menyarankan Bi dan pemerintah bersikap jujur dan terbuka mengenai kondisi terkini. Acu meminta BI dan pemerintah untuk tidak menyatakan bahwa kondisi saat ini masih tergolong aman.
“Tolong perhatikan, apakah depresiasi rupiah itu berdampak pada harga jualĀ berbagai komoditi, utamanya bahan bakar minyak (BBM)? Apakah depresiasi rupiah berpotensi membuat utang negara bertambah? Kalau harga BBM naik, otomatis, harga jual komoditi lainnya pun turut meninggi. Pun apabila utang negara bertambah, Tentunya, hal-hal itu berefek besar pada perekonomian,” tutup Acu. (win)