JABARTODAY.COM – BANDUNG — Seiring dengan perkembangan global, kondisi ekonomi nasional maaih belum stabil. Efeknya, rupiah terdepresiasi. Hal itu membuat pengaruh signifikan terhadap beragam sektor usaha dan industri, satu di antaranya garmen.
Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, Dedy Widjaja, mengakui bahwa saat ini, industri garmen dalam kondisi sangat berat. “Beban yang ditanggung industri garmen Jabar sangat berat. Pasar, baik lokal maupun ekspor, sepi,” tandas Dedy di kawasan Jalan Pasirkoja Bandung, Senin (22/10).
Dedy mengungkapkan, beratnya beban yang dipikul garmen Jabar terbukti oleh sejumlah industri itu yang stop produksi. Ada juga, lanjut Dedy, yang relokasi ke Jateng.
Dedy menyebutkan, belum lama ini, 2 industri garmen di Purwakarta merumahkan ribuan pekerjanya. Jumlah totalnya, ucap dia, sekitar 4 ribu pekerja. Sementara belasan industri lainnya, tukas Dedy, tutup terlebih dahulu. Bahkan, lanjutnya, beberapa industri garmen lainnya di sejunlah daerah, juga terancam gulung tikar, antara lain di Subang, Depok, Bogor, dan Bekasi.
Soal relokasi, Dedy mengiyakannya. Dia melanjutkan, hingga kini, puluhan industri garmen relokasi ke Jateng. Jumlahnya, kata Dedy, sekitar 40 industri. Alasannya, tutur Dedy, upah di Jateng lebih murah daripada Jabar. “UMK 2018 Kota Semarang senilai Rp 2,3 juta. Lalu, UMK Kabupaten Semarang Rp 1,9 juta. Berikutnya, Kabupaten Sragen dan Wonogiri, masing-masing Rp 1,5 juta,” paparnya.
Dedy menegaskan, agar induatri garmen terselamatkan, perlu adanya langkah-langkah strategis pemerintah. Misalnya, ujarnya, menetapkan regulasi pengupahan khusus industri garmen.
Jika tidak, tambahnya, tidak tertutup kemungkinan, makin banyak industri garmen di Jabar yang stop produksi atau relokasi. “Perkiraannya, kalau tidak ada treathment khusus, industri garmen Jabar hanya bertahan 2 tahun lagi. Artinya, pada 2020, tidak tertutup kemungkinan, Jabar tidak memiliki industri garmen,” pungkas Dedy. (win)