Nasionalisme Kultural Sudah Selesai

Prof. Dr. Nina H. Lubis, MS

JABARTODAY.COM – BANDUNG

Nasionalisme kultural yang berbasis kerajaan-kerajaan lokal di nusantara sudah berakhir seiring ikrar nasionalisme kebangsaan. Tidak perlu dibangkitkan. Begitu kata sejarawan Nina Herlina Lubis menanggapi wacana rekonsiliasi dua etnis besar di Pulau Jawa, Sunda-Jawa, yang diembuskan sejumlah kalangan. Tidak ada alasan untuk mengungkit-ungkit Perang Bubat untuk kepentingan kekuasaan.

“Rekonsiliasi Perang Bubat tidak perlu dilakukan. Itu tindakan konyol, membuang energi, dan kontraproduktif. Sebagian dari kita juga tidak sadar bahwa peristiwa Perang Bubat tidak lepas dari praktik kolonialisme di tanah air. Historiografi kolonial kerap disusupi kepentingan kolonial. Faktanya, tidak ada sumber primer yang secara tegas menyebut peristiwa Perang Bubat,” tegas Nina saat berbicara di hadapan sejumlah tokoh Sunda di Savoy Homann Bidakara Hotel, Bandung, Minggu (15/1) sore.

Ketua Tim Penulis Sejarah Jawa Barat ini mengungkapkan, peristiwa Perang Bubat terdapat dalam naskah Pararaton dalam enam versi berbeda. Naskah termuda ditulis 1406, sementara tertua 1624. Padahal, peristiwa itu terjadi 1357. Dengan demikian, sangat mungkin adanya kekliruan atau bahkan rekaan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Apalagi, imbuh Nina, sebagian besar naskah kuno kerap mencampuradukan antara fakta dan mitos yang di dalamnya terdapat rekaan-rekaan peristiwa untuk membuat alur cerita yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Nina menguraikan, peristiwa Bubat terjadi ketika Raja Majapahit Hayam Wuruk menginginkan permeisuri dari Kerajaan Sunda. Namun, keinginan tersebut dimanipulasi Gajah Mada agar menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai upeti. Merasa dikhianati, pasukan Kerajaan Sunda yang datang dengan niat untuk menyambut pesta pernikahan dihadapkan pada sepasukan perang berkekuatan besar pimpinan Gajah Mada.

“Jelas kalah karena kekuatan yang tidak seimbang. Maka Dyah Pitaloka memilih bunuh diri. Keputusan bunuh diri bukanlah keputusan yang jelek dalam tradisi Hindu,” kata Nina seraya menambahkan, “Adapun mengapa pihak perempuan yang datang ke pihak laki-laki, itu karena memang tradisi Hindu demikian. Ini bukan sebuah tanda takluk.”

Di bagian lain, Nina menyebutkan bahwa peristiwa Bubat kemudian muncul dalam naskah Kidung Sundayana yang ditulis 1880-an. Di sana dilukiskan sebuah peristiwa dramatis, tragedi, nelangsa, dan tentu saja membangkinkan sebuah kebencian. Naskah ini menjadi materi di AMS, sekolah setingkat SMA pada masa kolonial. Hal ini terlihat dari arsip kurikulum yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Dengan kata lain, peristiwa tersebut dibesar-besarkan untuk menanamkan kebencian Sunda kepada Jawa.

“Belanda sangat berkepentingan memisahkan urang Sunda dengan Jawa. Mereka sadar bila keduanya bersatu bisa menjadi kekuatan besar yang mengancam pemerintahan kolonial. Karena itu, kita semestinya melihat sebuah peristiwa itu secara kritis. Jangan sampai ahistoris karena itu merugikan kita semua,” pesan Nina.

Senada dengan TB Hasanudin yang menggagas pertemuan tersebut, Nina mengimbau uranga Sunda untuk lebih mengedepankan spirit kesundaan ketimbang menjustifikasi sebuah tindakan ke masa lalu yang sesungguhnya tidak berpijak pada realitas. Ajaran utama dari Kerajaan Sunda, kata Nina, adalah nilai-nilai demokratis yang melekat selama delapan abad berlangsungnya kekuasaan.

“Kerajaan Sunda menempatkan orang-orang bijak dan penguasa pada posisi yang setara. Adapun munculnya feodalisme tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Mataram yang pernah menguasai Priangan selama lebih kurang 50 tahun. Kondisi ini dilanjutkan pemerintah kolonial yang memanfaatkan kepatuhan rakyat kepada penguasa untuk kepentingan kolonial,” papar Nina.(NJP)

 

Related posts