JABARTODAY.COM – BANDUNG — Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, pemerintah mencanangkan program pembangunan infrastruktur energi listrik 35 ribu Mega Watt (MW). Satu di antara proyek itu adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan Pumped Storage 4 x 260 MW.
Namun, pembangunan itu bukan tanpa kendala. Salah satunya berkenaan dengan klaim kepemilikan lahan yang masuk kawasan pembangunan. “Saat ini proyek PLTA Cisokan dalam tahap persiapan pembangunan konstruksi utama. Harapannya, masalah hukum terkait kepemilikan tanah ini dapat segera terselesaikan,” tandas Efrizon, Deputi Manajer Hukum dan Komunikasi PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah (UIP JBT) I, dalam keterangan resminya, Kamis (8/3).
Berkomentar soal hadirnya 50 Warga Terkena Proyek (WTP) di kantor PT PLN (Persero) UIP JBT I, Jalan Karawitan Bandung, yang kuasa hukumnya adalah Roedy Wirahadikusumah, yang menuntut penyelesaian proses pembayaran tanah milik warga, Efrizon menjelaskan, pihaknya melakukan permasalahan itu sesuai prosedur.
Misalnya, jelasnya, tuntutan pembayaran tanah atas nama Sulton yang terletak di Access Road STA 175+18 PLTA Cisokan. Efrizon menyatakan, pihaknya menyelesaikan proses pembebasan lahan Access Road di Desa Sukaresmi pada Desember 2013. Berdasarkan verifikasi dan investigasi Panitia Pengadaan Tanah (P2T), tanah yang diklaim oleh Sulton tersebut adalah milik Mumun cs, yang selanjutnya, mengajukan penggugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan Pengadilan Negeri Bale Bandung.
Sebaliknya, lanjutnya, pihak Sulton pun melaporkan Mumun cs kepasa Polda Jabar. Isi melaporkannya, kata Efrizon, pemalsuan surat dan/atau memberikan keterangan palsu, yang obyek pelaporan Sulton berupa warkah tanah yang di mohonkan Ibu Mumun kepada Kepala Desa Sukaresmi sebagai kelengkapan persyaratan jual beli tanah dengan PLN.
“Tapi, penyidik Polda Jabar menyatakan tidak menemukan bukti pemalsuan seperti pelaporan Sulton. Hal itu mendorong Polda Jabar menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” paparnya. Menurutnya, pihaknya tidak terlibat dalam kasus ini. Yang berperkara adalah Sulton, Mukim cs, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bandung Barat.
Pun soal perbedaan ukuran tanah yang telah dibayarkan pihaknya. Diungkapkan, jajarannya memulai proses pengadaan tanah sejak 2011 dan mengikuti sejumlah penahapan sesuai Peraturan Pengadaan Tanah yaitu Perpres 36/2005 juncto Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. “Juga mengacu pada Undang Undang 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
“Kam miengikuti mekanisme. Pengukurannya oleh BPN bersama pemilik lahan, berlanjut pada pengumuman di desa serta adanya waktu komplain jika ada ketidaksesuain. Setelah itu baru PLN melakukan pembayaran yang didasari surat perintah bayar P2T, dan seluruh WTP sudah mendandatangani Berita Acara Pelepasan Hak,” tutupnya. (win)