Suroto, Pahlawan Keluarga dari Sragen

Suroto, pedagang lontong kari di Rawamangun, Jakarta Timur sedang melayani pelanggannya, Rabu (5/8/2018)

Fahrus Zaman Fadhly

Rabu pagi yang sejuk, 5 September 2018, saya dan sahabat saya Dadang Solihat, Wakil Dekan FKIP Universitas Kuningan, usai sholat shubuh berjamaah di sebuah masjid kecil di kawasan Jalan Pemuda III Rawamangun, Jakarta Timur hendak berjalan kaki untuk jogging menuju GOR Velodrom. Setelah memanfaatkan sarana gym outdoor gratis dan jogging track beberapa putaran, alhamdulillah, badan terasa bugar dan sehat.

Usai jogging, kami hendak kembali ke kosan. Saat melintasi trotoar Jalan Raya Rawamangun Muka, kami tidak sabar melihat lontong kari. Makanan favorit kami, para mahasiswa UNJ dan pekerja yang melintasi kawasan Rawamangun. Kami berhenti dan memesan dua porsi. Penjualnya adalah Mas Suroto, laki-laki berperawakan kurus asal Sragen, Jawa Tengah.

Sambil menikmati lontong kari racikannya di trotoar cantik, apik dan bersih karya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, saya terlibat obrolan ringan dengan Mas Suroto.

“Mas, sudah lama jualan lontong kari di Jakarta?”, tanya saya. “Jualan gini sudah lebih 20 tahun, Bang”, jawabnya. Saya yang lebih muda darinya dipanggil abang.

“Kalau jualan di sini baru satu tahun. Sebelumnya saya jualan di Rawasari. Gak aman di sini. Hanya bisa jualan sampe jam 8. Setelah itu ada petugas. Tapi, saya senang Jakarta jadi tampak rapi dan bersih,” tuturnya.

Lalu, saya tanya, “Apa harapan Mas Suroto pada Gubernur DKI Anies Baswedan?” “Wah, saya kalau ditanya itu, gak ngerti, Bang. Saya tahunya hanya jualan. Yang penting saya bisa cari nafkah di Jakarta untuk menambah penghasilan keluarga di kampung. Gak ngerti saya yang begitu-begitu. Hanya pengin jualan aja. Sebab, di kampung susah cari duit,” tutur laki-laki paruh baya itu.

“Inginnya saya pulang kampung, Bang. Kumpul dengan keluarga. Saya di sini sakit-sakitan. Sudah lama saya kurang sehat. Minum air saja saya jarang. Kalau minum air terasa pahit. Kalau di Jakarta jauh dari keluarga saya suka sakit-sakitan. Tapi, kalau di kampung saya sehat,” keluhnya.

Astaghfirullah, hati saya bergetar. Minum air saja susah, gumam saya. Bagaimana dengan asupan makannya?

“Oh begitu, Mas? Sholat lima waktunya lancar?” tanya saya.

“Alhamdulillah lancar, Bang.” Untuk kesekian kalinya ia panggil saya, “Bang”.

Saya menghampirinya dan menepuk halus punggungnya. “Mas, ambilkan saya segelar air. Diminum ya,” saya bilang. “Ya,” sahutnya.

Saya pegang segelas air itu dan saya bacakan doa yang sederhana. Dengan khusyu’ saya bacakan bismillaahirrahmaanirrahiim dan la hawla walaa quwwata illaa billaah” Lalu saya serahkan padanya. Diminumnya segelas air itu.

Alhamdulillah, pahit Bang,” katanya pelan, tapi ia mulai merasa nyaman dan lega. Tenggorokannya tampak terlihat nyaman dan plong.

“Boleh minum lagi, Bang.” katanya. “Boleh dong, ini kan air Mas Suroto sendiri”. Lalu, ia minum satu gelas lagi. Dan, satu gelas lagi. Jadi, ia sudah minum tiga gelas air, pagi itu.

Saat minum air gelas yang ketiga, saya menyarankan ia minum sambil duduk. Karena minum sambil berdiri kurang baik bagi kesehatan.

“Mas, sambil duduk di kursi. Kalau minum atau makan sebaiknya sambil duduk, ” saran saya. Ia mengikuti saran saya.

Karena ada pelanggan yang lain, saya kemudian pamitan pulang padanya. Dan, saya mendoakan agar Mas Suroto sehat dan rajin minum air putih.

Sebelum pergi, saya berbisik, “Mas, biasakan dan paksakan minum air putih. Jangan sampe dehidrasi. Usahakan jalan kaki pagi-pagi. Atau sambil gerak-gerak tubuh di sela-sela melayani pelanggan,” saran saya.

Mukanya pagi itu memang tampak pucat dan kurus. Sakitnya sudah menahun. Tapi, meski jauh dari keluarga, ia tetap berjuang mencari nafkah di tengah kerasnya kehidupan di ibu kota.

Orang kecil seperti dia, hanya ingin curhat apa yang dia alami. Sakit yang dideritanya selama ini. Ia berharap bulan ini bisa pulang kampung dan menetap selamanya di Sragen.

Perawakannya kurus, tampak lebih tua dari usinya. Ia lahir di Sragen, 51 tahun lalu. Beranak empat dan bercucu dua orang. Syukurnya, keempat anaknya sudah bekerja.

Sudah beberapa tahun dia mengeluhkan susah minum air putih. Air putih, baginya terasa pahit. Mudah-mudahan setelah pertemuan pagi itu dengan saya, Mas Suroto bisa menikmati air putih yang sangat bermanfaat bagi kesehatannya. Aamiin

Selamat terus bekerja Mas Suroto, pahlawan keluarga dari Sragen.

Rawamangun, Rabu, 5 September 2018…..09.20 WIB.

Related posts