Politik Licik

M Rizal Fadillah

Ketua Maung Institute,  Bandung

Terlepas dari bias aturan mengenai status seorang Presiden yang mencalonkan kembali dan berkompetisi tanpa melepas statusnya sebagai Presiden, maka kesimpulan yang paling mudah adalah terbuka ruang berbuat licik.

Sebagai Kepala Pemerintahan ia bisa menggerakkan investor menjadi donatur, menggerakkan aparatur untuk ‘membantu’ kepentingannya, termasuk gubernur. Ia bisa menjadikan kementrian menjadi tangan tangan yang mencengkeram bawahan dan stake holder, memanipulasi kewajiban negara menjadi bantuan pribadi, bahkan ia pun bisa menggunakan aparat penegak hukum agar hukum tegak untuk lawan dan bengkok untuk diri sendiri dan kroni.

Yang paling berbahaya adalah menggunakan lembaga intelijen untuk menyabotase, mempropaganda, merekayasa fakta, menyusupkan agen, menyamar, melakukan spionase, merekrut agen dari personal lawan, atau membuat isu penguat diri dan isu pelemah lawan, atau melakukan kegiatan lain yang menjadi fungsi badan intelijen. Lembaga resmi pemilu KPU ataupun Bawaslu tak akan mampu menjangkau gerakan ‘clandestine’ model ini.

Jika Seorang Presiden ingin memenangkan kompetisi dengan memakai baju baja atau baju tahan peluru sementara kompetitornya disuruh buka baju, maka itulah pertandingan yang tidak fair dan licik. Bagai seorang gladiator menghadapi gladiator piaraan ‘raja’ yang didampingi singa dan anjing lapar yang mengintimidasi dan meremukkan nyali. Karenanya perlu evaluasi segera, Presiden yang bertarung kembali mesti berhenti dari jabatannya, sebagaimana para kepala daerah yang mesti berhenti. Jika tidak, terbuka berbagai peluang kelicikan di tengah kehidupan politik kebangsaan yang belum dewasa seperti ini.

Sejak awal persiapan ‘sarana’ politik licik sudah terasa. Adanya Presidensial Treshold 20 % dengan standard pemilu terdahulu merupakan ironi dalam hukum ketatanegaraan di negara demokrasi. Hukum dibuat untuk berpihak pada pertahana.

Kini kasus Ratna Sarumpaet menjadi misteri. Sepertinya berspektrum luas. Banyak tulisan yang menohok kekhawatiran peran intelijen. Bahkan ada judul menarik ‘operasi pelastik atau operasi intelijen’.
Kini Ratna ditangkap, tentu harapan bisa terungkap, tapi apakah penting berhenti di penghukuman pelaku jika target operasi bukan dirinya. Ketika ia hanya menjadi wayang permainan. Diciptakan untuk dimatikan. Konteks nya pemenangan kompetisi pilpres.

Politik licik adalah politik tak mendidik, merusak generasi muda ke depan. Ini yang disebut machiavellistik. Ajaran machiavelli ada tiga yang pokok. Pertama, pisahkan moral dari politik, yang penting bagi ‘raja’ adalah melakukan apa saja untuk memperkuat kekuasaannya. Kedua, sentralisasi kekuasaan karena penyebaran hanya memberi pemukul bagi lawan. Ketiga, penguasa mesti menjadi kancil dan singa. Kancil yang pandai bersiasat, menjerat dan membohongi. Singa yang bisa menakut nakuti, menerkam dan mencabik cabik.
Ketika kekuasaan ada pada dirinya, maka kecenderungan menjadi machiavellistik menjadi terbuka.

Andai saja Presiden yang berkompetisi tak melepas jabatan itu seorang negarawan maka ia mungkin bisa berlaku adil. Kemenangan adalah wujud dari kepercayaan. Tapi masalahnya jika Presiden itu berfikiran pragmatis dan tak peduli dengan kepercayaan, yang penting menang walau dengan cara memalukan atau memilukan, maka merebut kekuasaan adalah segala galanya. Termasuk dengan cara menyandera atau berdusta. Inilah masalah serius kita. Karenanya bahaya kelicikan menganga semakin melebar ke depan. Sejarah sedang bersiap mencatat hasil yang buruk akibat dari perilaku politik yang buruk.

Bandung, 7 Oktober 2018

Related posts