
Oleh : Zainal Bintang
“Hantu” data pemilih ganda merebak ke ruang publik. Ancaman data pemilih ganda mendadak ramai diperbincangkan masyarakat. Sebuah isu politik yang sangat seksi. Merebut perhatian dan mengganggu fikiran kontestan Pemilu serentak 2019. Mengancam kekhusyukan dan ketenangan pesta demokrasi lima tahunan.
Para Sekjen (Sekretaris Jenderal) koalisi parpol (partai politik) pengusung Prabowo-Sandiaga Uno yang mengangkat isu panas itu. Ditemukan 25 juta data pemilih ganda di beberapa daerah pemilihan.
“Bahkan ada satu nama yang tergandakan 11 kali dalam satu TPS (tempat pemungutan suara)” kata Sekjen PKS Mustafa Kamal salah satu anggota parpol pangusung kubu PS – SSU atau PAD Senin malam, (03/09/18).
Sudah bisa dipastikan bantahan segera muncul. KPU menyebut hasilnya tak sebanyak itu. Dari hasil kajian KPU, pada data yang digunakan koalisi Prabowo-Sandi terdapat perbedaan metode analisis data sehingga hasilnya berbeda. Komisioner KPU Viryan Aziz empat hari kemudian, Jumat (7/9/18) menyebutkan “Sumber data sama, tapi dalam analisis data sumber data sama, tapi cara analisnya berbeda, pasti hasilnya berbeda.”
Mari kita lihat, data KPU hasil Pemilu 2014 menunjukkan perolehan suara Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebanyak 70.997.85 suara (53,15 persen). Adapun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85 persen). Selisih hanya 8.421.389 atau “hanya” delapan juta suara lebih.
Apabila pada Pemilu 2014, selisih suara pasangan Jokowi dengan Prabowo “hanya” delapan juta suara, maka masuk akal jika temuan (sementara) tersebut diatas yang mencapai 25 juta itu menggegerkan sekaligus mengerikan.
Menyebut data pemilih ganda, sudah pasti tujuannya adalah pengumpulan suara elektoral yang lebih banyak guna memenangi Pemilu. Perburuan angka itulah yang mendorong kubu tertentu untuk “memainkannya” demi untuk keluar sebagai pemenang.
Artinya peran data pemilih, – untukdigandakan , – sungguh sangat penting untuk memperoleh angka yang lebih banyak sebagai instrument legitimasi kesahihan sebuah Pemilu.
Kata “ganda” yang menyertainya itu, sudah patut diduga mengisyaratkan adanya nafsu besar siap menang tapi tidak siap kalah. Garis tegas antara kejujuran dan kecurangan sebagai parameter moralitas kembali menghadapi ujian berat.
Pada pemilu – pemilu sebelumnya sejak era reformasi, kasus data pemilih ganda selalu menjadi masalah. Selalu menjadi hantu yang tidak bisa dibekuk akibat lemahnya perangkat hukum yang dimiliki bangsa ini. Celakanya karena penanggung jawab institusi hukum yang seharusnya diproses, ternyata malahan terpilih masuk ke dalam ring satu kekuasaan yang memenangi Pemilu. Meskipun hasilnya terang – terangan keruh, toh hasil Pemilu yang “cacat” itu tetap berjalan dan berlaku menjadi legitimasi pemerintah baru.
Hanya saja memang ada perbedaan kasus data pemilih ganda yang sekarang dengan yang dulu. Karena yang dulu dipersoalkan setelah selesai hajatan Pemilu. Berkaca pada pengalaman yang lalu maka masalah ancaman hantu data pemilih ganda ini pagi – pagi sudah dipersoalkan.
Justru disinilah letak master key (kunci induk) sisi moralitasnya. Sebuah batu ujian kepada kubu yang berkampanye menjadi kelompok “siap kalah” secara murni dan konsekwen. Harus diakui memang sangat sulit mengimplementasikan kontestasi berjalan adil dan jujur dan teransparan, sepanang “dibebani” niat untuk menang dengan segala cara. Ini adalah konsekwensi di ranah politik yang penuh warna abu – abu kesejatian.
Apabila temuan puluhan juta data pemilih ganda tidak diklarifikasi sejelas – jelasnya, maka hal itu dapat dipastikan akan menjadi noda demokrasi yang seterusnya akan menyimpan bau busuk dalam perjalanan bangsa ke depan.
Diperlukan adanya kesadaran dari dua kubu peserta kontestasi agar siap menunjukkan kebesaran jiwa dan rasa tanggung jawab yang tinggi jika bertekad mewariskan kebajikan kepada generasi penerus. Sebuah kesepakatan dan komitmen bersama menolak hadirnya data pemilih ganda ganda amat sangat diperlukan.
Tapi apakah akan semudah itu?
Pemilu di depan mata itu kini termasuk agak rumit, lantaran ada keterbelahan bangsa ke dalam polarisasi dua kubu. Kubu pro ulama dan kubu pro milenia. Dua kubu yang berkontestasi sudah dipastikan akan menggunakan dan memaksimalkan, – kalau tidak bisa dikatakan,- “memaksakan” semua kekuatan, potensi, celah peluang untuk menang.
Lahan besar konvensional sebagai kantong suara dalam setiap Pemilu adalah segmen Islam. Tapi kini di zaman now, muncul segmen baru : komunitas milenial yang lebih warna warni yang merupakan lahan baru yang cukup seksi : penanda perubahan zaman.
Kubu pengusung isu ulama dan pengusung isu milenial dipastikan dan diharapkan akan bertarung secara sungguh – sungguh. Mereka akan menggunakan semua kiat, jurus dan taktik marketing untuk mendulang insentif elektoral yang diharapkan akan tergoda oleh isu dua segmen tersebut.
Kompetisi dua segmen yang berbeda itu sah – sah saja adanya. Sepanjang di dalamnya tetap konsisten pada koridor keutuhan bangsa dan kedigdayaan Pancasila menjadi basisnya.
Dan, oleh karena itu ancaman hantu data pemilih ganda menjadi penting dan mendesak untuk dilawan bersama. Karena siapapun yang menang, sepanjang isu data pemilih ganda tetap bergelayut menyertai kemenangan itu maka kemenangan itu adalah kesia – siaan semata.
Selain gagal merawat kesatuan dan persatuan bangsa ini, oleh sejarah pun kegagalan itu akan menjadi catatan kelam yang menodai wajah sejarah itu sendiri.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati sosial budaya