Mantan Pengikut LDII Ungkap 5 Landasan Hukum, Sebut Video Penolakan Jamaah di Karawang Bukan Fitnah

Video LDII
Dewan Penasihat DPD LDII Kabupaten Karawang, KH Mustaghfirin memberikan klarifikasi terkait video yang beredar (foto:lines/kompasiana)

JABARTODAY.COM, KERAWANG – –  Kontroversi seputar video viral penolakan jamaah untuk melaksanakan salat di masjid yang dikelola Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) terus berkembang. Setelah pihak LDII memberikan klarifikasi melalui Dewan Penasihat DPD LDII Kabupaten Karawang, kini muncul bantahan yuridis dari Forum Persaudaraan Hijrah Wasatiyah (FPHW) Karawang yang menggunakan landasan hukum dan putusan Mahkamah Agung.

 

Klarifikasi LDII Kerawang: Masjid Terbuka untuk Semua

Dewan Penasihat DPD LDII Kabupaten Karawang, KH Mustaghfirin, sebelumnya menegaskan bahwa masjid-masjid yang dikelola LDII terbuka bagi seluruh umat Islam. Penegasan ini disampaikan untuk membantah beredarnya sebuah video di media sosial yang menuding adanya penolakan terhadap warga yang hendak melaksanakan salat di masjid LDII.

KH Mustaghfirin menyatakan bahwa sejak awal pendiriannya, masjid LDII tidak pernah dibatasi hanya untuk warga internal organisasi. “Tidak pernah ada larangan bagi siapa pun untuk salat di masjid LDII. Tuduhan pengusiran itu tidak benar,” tegas KH Mustaghfirin, dikutip dari palembang.tribunnews.com, Minggu, 14 Desember 2025.

Dalam klarifikasinya, penasihat LDII tersebut juga menyebut bahwa video viral tersebut merupakan hasil provokasi “mantan warga LDII yang menyebar kebencian” untuk mencemarkan nama baik organisasi.

 

Bantahan Yuridis dari FPHW Karawang

Merespons klarifikasi tersebut, Ketua Forum Persaudaraan Hijrah Wasatiyah (FPHW) Karawang, Agung Anugrahjati, memberikan bantahan yuridis yang komprehensif dalam pernyataan resminya di Bandung pada Senin, (15/12/2025).

Menurut Agung, pernyataan H. Mustaghfirin yang merupakan Dewan Penasihat DPD LDII Karawang (dalam struktur Islam Jamaah dikenal sebagai Imam daerah Cikampek) dalam klarifikasinya yang menyebut bahwa video viral penolakan jamaah salat di masjid LDII adalah hasil provokasi “mantan warga LDII yang menyebar kebencian” tidak berdasar dan secara hukum tidak menghapus nilai kebenaran dari rekaman tersebut.

Justru, menurut Agung, berdasarkan dokumen hukum dan pertimbangan yurisprudensi Mahkamah Agung, khususnya Putusan Pidana No. 1293 K/Pid.Sus/2015, terdapat beberapa landasan yuridis yang perlu dijelaskan untuk memperjelas posisi hukum dalam kasus ini.

Lima Landasan Yuridis

 

1. Pendakwah Tidak Dapat Dipidana Jika Berdasarkan Fakta

Landasan yuridis pertama merujuk pada pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menegaskan prinsip penting dalam kebebasan berdakwah. Dalam amar pertimbangannya, MA menyatakan:

“Penyampaian dakwah untuk tujuan meluruskan kelompok atau warga yang dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya bukanlah merupakan pencemaran nama baik atau fitnah, sebab apa yang disampaikan merupakan kebenaran atau fakta…” (Putusan MA No. 1293 K/Pid.Sus/2015, poin 8).

“Ini berarti, bila seseorang menyampaikan kebenaran atau fakta – sekalipun menyangkut LDII – maka hal tersebut bukan fitnah atau ujaran kebencian, melainkan bagian dari ekspresi dakwah dan hak konstitusional menyampaikan pendapat,” jelas Agung dalam pernyataannya.

Pertimbangan hukum MA ini memberikan perlindungan bagi siapa saja yang menyampaikan fakta dalam konteks dakwah dan pelurusan ajaran, sepanjang didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi.

 

2. Status Ajaran Islam Jamaah Menurut Lembaga Resmi

Landasan kedua berkaitan dengan status ajaran Islam Jamaah yang menjadi akar historis LDII. Dalam pertimbangan hukum yang sama, Mahkamah Agung mencatat bahwa ajaran Islam Jamaah telah dinyatakan menyimpang oleh lembaga-lembaga resmi negara.

“…sebab ajaran Islam Jamaah adalah ajaran yang terlarang/sesat menurut MUI maupun Jaksa Agung RI” (Putusan MA No. 1293 K/Pid.Sus/2015, poin 7).

“Dengan demikian, setiap peringatan publik atau pelaporan tentang praktik penyimpangan oleh eks warga LDII tidak bisa serta-merta disangkal sebagai ‘fitnah’. Ini justru selaras dengan peringatan lembaga resmi negara,” imbuh Agung yang juga sebagai mantan pengikut LDII.

Fakta bahwa Agung merupakan mantan anggota LDII memberikan kredibilitas tambahan pada pernyataannya, karena ia memiliki pengalaman dan pengetahuan langsung tentang praktik internal organisasi tersebut.

 

3. Kepentingan Publik, Bukan Masalah Pribadi

Landasan ketiga menegaskan bahwa isu yang terekam dalam video viral bukanlah masalah pribadi, melainkan menyangkut kepentingan publik dan prinsip dasar Islam. Video yang viral memperlihatkan dengan jelas larangan terhadap seorang Muslim untuk menunaikan salat di masjid LDII.

Menurut FPHW, ini adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar Islam yang menjunjung tinggi keterbukaan masjid bagi seluruh umat. Hal ini juga menyangkut kepentingan umat Islam secara luas, bukan semata-mata urusan pribadi antara individu dengan organisasi.

FPHW menekankan bahwa masjid bukanlah milik eksklusif kelompok tertentu. Dalam ajaran Islam, masjid adalah rumah Allah yang terbuka untuk semua umat Muslim tanpa diskriminasi. Pelarangan atau pembatasan akses ke masjid berdasarkan afiliasi organisasi bertentangan dengan prinsip fundamental ini.

 

4. Hak Konstitusional Menyampaikan Pendapat

Landasan keempat merujuk pada jaminan konstitusional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk mengemukakan pendapat.

Jika pengemukaan pendapat didasarkan pada bukti dan fakta yang dapat diverifikasi – seperti rekaman video dan dokumen resmi dari MUI atau Mahkamah Agung – maka tuduhan bahwa tindakan tersebut merupakan “ujaran kebencian” atau “provokasi” menjadi tidak berdasar secara hukum.

Hak konstitusional ini melindungi warga negara yang menyampaikan kritik atau mengungkapkan fakta berdasarkan bukti yang sah, termasuk dalam konteks keagamaan. Perlindungan konstitusional ini tidak dapat diabaikan dengan dalih melindungi reputasi organisasi tertentu.

 

5. Status Pembinaan LDII yang Masih Berlangsung

Landasan kelima menyoroti fakta bahwa LDII masih berada dalam proses pembinaan oleh Majelis Ulama Indonesia. LDII sendiri dalam surat resmi MUI Pusat tertanggal 18 Februari 2025 dinyatakan masih dalam proses pembinaan, yang berarti belum sepenuhnya tuntas dalam menyesuaikan ajaran dengan prinsip Islam menurut MUI.

“Status ini mengindikasikan bahwa masih terdapat aspek-aspek ajaran atau praktik LDII yang perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan ajaran Islam yang lurus. Dalam konteks ini, kritik publik atas tindakan eksklusivisme di masjid LDII sangat wajar dan harus dilihat sebagai bagian dari kontrol sosial terhadap kelompok yang masih dalam evaluasi oleh lembaga otoritatif keislaman (MUI),” jelas Agung.

Mengakhiri pernyataannya, Agung Anugrahjati menegaskan kesimpulan hukum dari kelima landasan yuridis yang telah dipaparkan.

“Dengan merujuk pada putusan Mahkamah Agung, fatwa MUI, dan hak konstitusional warga negara, tuduhan terhadap individu yang merekam dan menyuarakan ketidakadilan di masjid LDII sebagai ‘penyebar kebencian’ atau ‘fitnah’ tidak berdasar secara yuridis. Sebaliknya, tindakan tersebut merupakan bentuk penyampaian fakta, bagian dari dakwah, dan kontribusi terhadap perbaikan umat,” pungkas Agung.

Perdebatan antara LDII dan FPHW ini membawa implikasi penting dalam diskursus keagamaan dan hukum di Indonesia. Di satu sisi, organisasi keagamaan memiliki hak untuk membela reputasi mereka dari tuduhan yang dianggap tidak berdasar. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan kritik dan mengungkapkan fakta, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik dan ajaran agama.

Putusan Mahkamah Agung yang dirujuk oleh FPHW memberikan preseden hukum yang jelas bahwa penyampaian fakta dalam konteks dakwah dan pelurusan ajaran dilindungi oleh hukum, sepanjang didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi. Ini menciptakan keseimbangan antara perlindungan reputasi dan kebebasan berekspresi serta berdakwah.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam pengelolaan tempat-tempat ibadah, khususnya masjid. Sebagai rumah Allah yang seharusnya terbuka untuk semua Muslim, masjid tidak boleh dijadikan alat eksklusivisme atau diskriminasi berbasis afiliasi organisasi.

Status LDII yang masih dalam pembinaan MUI menunjukkan pentingnya pengawasan dan kontrol sosial yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa praktik keagamaan sesuai dengan ajaran Islam yang lurus dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga otoritatif keislaman. [ ]

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *