Kejahatan Komoditas Daging Sapi di Sekitar Kita

aKompol Iwan Iriawan, SiK, MSi
Perwira Siswa Sespimmen Polri Angkatan 56 Tahun 2016

Tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging sapi menjelang dan selama puasa biasanya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging sapi ini tentu akan mendongkrak pula harga jual komoditas yang satu ini. Hukum pasar pun tak bisa terelakkan bila permintaan masyarakat tinggi. Selain hukum pasar berlaku, biasanya kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang mencari keuntungan pribadi dengan melanggar aturan hukum yang ada.

Kasus penjualan daging babi hutan (celeng) kerap kali ditemukan di sejumlah daerah di tanah air. Hewan yang harap dikonsumsi oleh umat Islam ternyata dijadikan komoditas oleh para penjahat untuk meraup keuntungan. Daging celeng ini dicampur atau dioplos dengan daging sapi untuk kemudian dijual bebas di pasaran. Masyarakat yang tak jeli dan tak tahu akan ciri-ciri daging celeng ini pun akan menjadi korban. Kasus terakhir yang berhasil dibongkar polisi adanya sindikat pengoplos daging celeng dengan daging sapi di wilayah hukum Polres Bandung. Polisi berhasil menangkap suppliyer daging celeng yang biasa mengirim ke para pedagang di pasar. Tak hanya suppliyer, polisi pun meringkus pedagang di pasar tradisional yang tega mencampur daging celeng dengan daging sapi.

Tersangka pedagang daging di pasar tradisional yang diamankan polisi mengaku membeli daging celeng seharga Rp 35 ribu per kilogram dari seorang suppliyer asal Sumatra. Dari celeng tersebut kemudian dioplos dengan daging sapi. Hasil oplosan ini kemudian dijual dengan harga Rp 85 ribu per kilogramnya. Sementara harga daging sapi normal di pasaran sekitar Rp 105 kilogram. Selisih harga yang cukup jauh ini tentunya bisa menjadi acuan bagi masyarakat. Konsumen patut menaruh curiga mengapa harga daging yang dijual di pasaran harganya berada di bawah rata-rata? Karena itu masyarakat jangan mudah terkecoh dengan harga murah sebuah produk di pasaran. Justru sebaliknya konsumen patut curiga mengapa harga barang tersebut murah dibanding harga normal.

Dalam kasus perdagangan daging celeng di Bandung, polisi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka pun dijerat dengan pasal berlapis yaitu pasal 62 ayat (1) jo pasal 7 dan pasal 8 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Subsider pasal 136 huruf b jo pasal 75 ayat (1) UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan pasal 31 ayat (1) UU No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Ancaman hukuman untuk ketiga tersangka lima tahun penjara. Penerapan pasal berlapis terhadap para tersangka memang sangat tepat. Selain merugikan konsumen secara materil, masyarakat yang membeli daging sapi oplosan ini pun dirugikan secara non-materi lantaran mengkonsumsi daging yang dilarang oleh agama Islam.

Selain daging sapi oplosan, kasus yang banyak ditemukan di masyarakat kita adalah sapi glonggongan. Sapi glonggongan adalah sapi yang diberikan minum sebanyak-sebanyaknya sampai lemas sebelum dilakukan pemotongan. Dengan cara ini diharapkan berat daging sapi akan bertambah dari sapi normal. Para pelaku penggelonggongan diancam jeratan pasal berlapis, beberapa di antaranya ialah Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara 15 tahun penjara atau denda Rp 300 juta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengedarkan pangan yang mengandung bahan kotor, busuk, tengik, dan terurai, atau bahan yang berasal dari bangkai sangat dilarang. Ancaman adalah penjara selama 1 tahun atau denda sebesar Rp 120 juta serta Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen No 8/1999 dan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan, dengan ancaman kurungan lima tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar rupiah. ***

Related posts