
JABARTODAY.COM – BANDUNG — Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia (RI) ke-7, Joko Widodo, memutuskan untuk menolak usul Revisi Peraturan Pemerintah (PP) 52/2000 dan PP 53/2000, yang isinya berkenaan dengan penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yang diajukan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).
Namun, kementerian itu kembali mencetuskan sebuah Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo. Isinya tentang penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Adanya hal itu, menimbulkan reaksi para pekerja BUMN strategis yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis.
“Secara tegas, kami menolak RPM itu,” tandas Ketua Umum FSP BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto, di kawasan Jalan Lombok, belum lama ini. Menurutnya, berdasarkan RPM itu, kemungkinan besar, perusahaan penyelenggara jasa telekomunikasi terbagi dua. Pertama, ucapnya, khusus menangani jaringan. Kedua, sambung Wisnu, adalah jasa penyelenggara. Apabila pemisahan terjadi, Wisnu menilai hal itu berisiko besar, terutama berkaitan dengan skema administrasinya.
Wisnu menduga adanya unsur dan muatan kepentingan pihak-pihak tertentu di balik RPM itu. Pasalnya, jelas dia, RPM itu memudahkan operator asing untuk beroperasi di tanah air tanpa memiliki atau membangun jaringan dan infrastruktur. Artinya, jelas dia, operator asing dapat menggunakan jaringan dan infrastruktur yang dimiliki negara, dalam hal ini, BUMN bidang telrkomunikasi, yaitu, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk (Persero).
Hal ini, kata Wisnu, menguntungkan operator asing. Namun, tegasnya, tidak bagi perusahaan Merah Putih tersebut. Wisnu berpendapat, secara bisnis, skema sharing jaringan itu, merugikan. Walau belum melakukan kalkulasi tentang estimasi kerugian, Wisnu memperkirakan angkanya sangat besar. “Dari sisi interkoneksi saja, bisa besar. Nilainya bisa capai ratusan miliar dalam 6 bulan terakhir,” ujarnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekar Telkom, Asep Mulyana, menambahkan, RPM bertentamgan dengan rencama pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. “RPM itu cenderung memudahkan operator asing karena mereka tidak perlu membangun jaringan dan infrastruktur, tapi cukup memanfaatkan infrastruktur milik negara,” sahutnya.
Asep mengimbuhkan, selan sisi bisnis, skema sharing jaringan pun berdampak bagi masyarakat. Menurutnya, ibarat jalan, apabila kendaraan penuh sesak, tentu terjadi kepadatan dan kemacetan. “Ini pun begitu. Jika jaringan padat, tentunya, terjadi traffic. Koneksi pun terganggu,” pungkas Asep. (win)