
Oleh Geisz Chalifah, Budayawan Muslim
Kampung Aquarium digusur paksa, ratusan aparat berdiri mengamankan.
Tangisan Ibu-ibu dan anak-anak tak diperdulikan, bahkan sang gubernur mengatakan: “Orang bunting pun gue usir dari rumahnya”.
Mereka lahir dan besar di situ, orang tua mereka pun lahir di tempat yang dulu sempat dijadikan komplek percontohan.
Mereka miskin, hidup menjadi nelayan atau berdagang seadanya. Tapi kaya dengan harga diri.
Dharma Diani dan warga di situ tetap pada keputusannya. Hidup di dalam tenda di atas puing-puing yang dihancurkan oleh godam kekuasaan.
Berhari hari, berbulan bulan, tak memiliki harapan, seluruh petinggi yang ditemui emoh menerima mereka. Bahkan di media sosial kaum kelas menengah ngehek para jongos recehan tanpa punya empati menghinakan melalui akun-akun yang mereka miliki.
KTP mereka dicabut, kehidupan mereka direnggut, harga diri dirampas dan dicampakkan.
Orang puing itu tetap tegar, ada 24 kematian selama masa-masa itu.
Mereka hadapi mereka yakin Allah tak akan diam, harapan selalu ada, perjuangan tak pernah pupus.
Hari ini setahun lalu, jantung mereka berdebar keras, bila Ahok menang maka habislah mereka, pupuslah sudah semua harapan semua ikhtiar, segala doa yang dipanjatkan.
Langit berkata lain, jutaan sembako, ribuan ancaman, dukungan penguasa dan taipan tak menggoyahkan hati pemilih.
Orang puing tegak berdiri, Ahok kandas. Mereka berpelukan tanpa air mata karena air mata mereka sudah kering dari jauh hari sebelumnya.
Hari ini 19 April setahun lalu, mereka yang tegak di atas puing reruntuhan mendapatkan gubernur yang berpihak pada keadilan sosial pada mereka yang terpinggirkan.
Di atas puing mereka naikan bendera merah putih dengan penuh harga diri mereka nyatakan: “Kami Masih Ada”.
*#DariJakartaKitaRebutIndonesia*