
Sejak pemerintahan Jokowi naik tahta, masyarakat dibuai dengan mimpi indah bahwa pertumbuhan ekonomi akan meroket. Pemerintah langsung menggenjot APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan) 2015 dengan kenaikan sangat fantastis.
Dari sisi Pendapatan, pemerintah menganggarkan penerimaan pajak naik sangat tinggi, yaitu naik 30,5 persen dari realisasi penerimaan pajak 2014, atau naik dari Rp 1.103 triliun menjadi Rp 1.440 triliun!
Dari sisi Belanja, pemerintah merencanakan meningkatkan Anggaran secara spektakuler dengan cara mengalihkan Subsidi (BBM) dan kenaikan penerimaan pajak tersebut ke Belanja Modal dan Infrastruktur. Diharapkan peningkatan Belanja Modal ini akan memberikan double impact untuk membuat pertumbuhan ekonomi meroket.
Faktanya cukup mengecewakan. Realisasi penerimaan pajak 2015 ternyata jauh di bawah hasrat pemerintah yang sedang bermimpi. Realisasi penerimaan pajak 2015 stagnan. Tidak ada jalan lain, Anggaran Belanja harus dipangkas agar defisit anggaran bertahan di bawah 3 persen dari PDB, yaitu batas maksimum yang dibolehkan oleh Undang-Undang Anggaran.
Tahun 2016 terulang lagi. Pemerintah masih menggebu-gebu tanpa perhitungan matang. Atau lebih tepatnya mungkin karena ketidakpahaman dalam menyusun kebijakan APBN. Realisasi penerimaan pajak 2016 juga anjlok dibandingkan anggarannya. Penerimaan dari program Tax Amnesty yang sangat kontroversial juga tidak dapat menyelamatkan APBN 2016.
Tetapi, dengan komunikasi (atau tepatnya pencitraan?) yang kurang tepat masyarakat terbuai dengan keberhasilan pembangunan infrastruktur sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Di setiap kesempatan pemerintah meng-klaim keberhasilan pembangunan infrastruktur. Tetapi faktanya sangat bertolak belakang dengan kenyataan.
Memang benar realisasi Belanja Modal dan Infrastruktur mengalami kenaikan di tahun 2015. Belanja Modal naik dari Rp 147,3 triliun (2014) menjadi Rp 215,4 triliun. Di dalam Belanja Modal ini, kenaikan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan jaringan (baca: Infrastruktur) hanya naik dari Rp 65,6 triliun (2014) menjadi Rp 98,6 triliun (2015). Kenaikan ini karena Belanja Modal dan Infrastruktur 2014 anjlok akibat tahun Pemilu.
Tahun 2016, realisasi Belanja Modal dan Infrastruktur bahkan menciut. Belanja Modal turun (dari Rp 215,4 triliun) menjadi Rp 169,5 triliun saja. Belanja Modal Infrastruktur juga turun (dari Rp 98,6 triliun) menjadi Rp 64 triliun. Dari data APBN ini jelas terbaca bahwa realisasi Belanja Infrastruktur tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh pemerintah, dan oleh banyak pihak.
Untuk kompensasi Belanja Infrastruktur yang sangat mengecewakan ini, pemerintah mendorong perusahaan negara (BUMN) untuk membangun, khususnya ,jalan (tol). Hal ini akan membahayakan posisi BUMN yang awalnya hanya kontraktor pembangunan infrastruktur menjadi investor jalan (tol). BUMN ini bisa mendapat kesulitan membayar kembali investasi yang menggunakan pinjaman yang kebanyakan dari bank pemerintah. Kalau ini sampai terjadi, maka bisa berdampak sistemik, dan bank pemerintah bias mengalami kesulitan.
Tahun 2017 sepertinya tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan pajak 2017 juga akan anljok dibandingkan anggarannya. Sampai akhir November 2017 realisasi penerimaan pajak hanya 78 persen dari anggaran. Diperkirakan akan terjadi shortfall sedikitnya Rp 200 triliun, dan akan memaksa pemerintah memangkas lagi anggaran Belanja Modal dan Infrastrukturnya karena defisit anggaran sudah membengkan mendekati 3 persen dari PDB.
Seiring tahun-tahun berlalu masyarakat dan banyak pelaku usaha mulai menunjukkan pesimisme. Tidak heran kalau perusahaan pendukung infrastruktur mulai merasakan pahitnya kenyataan bahwa belanja infrastruktur tidak seperti yang citrakan.
Sebaiknya pemerintah mulai menyadari hal ini dan tidak memberi harapan berlebihan (baca: palsu) ke masyarakat dan pelaku usaha. Menggelembungkan APBN di luar kemampuan riil hanya membohongi dan membodohi diri sendiri. Bangunlah dari mimpi dan hadapi kenyataan ini. Mengakui kondisi sebenarnya dan bicara jujur kepada masyarakat mungkin dapat menuai simpati.
*Anthony Budiawan adalah Managing Director PEPS dan Mantan Rektor Kwik Kian Gie School for Business and Management