Urgensi Reformasi Pendidikan Vokasi

Amich Alhumami, Ph.D (dok.istimewa)

Oleh: Amich Alhumami, Ph.D

Debat mengenai signifikansi pendidikan vokasi dalam upaya meningkatkan keterampilan dan keahlian bagi penduduk usia muda produktif sudah berlangsung bilangan dekade. Pendidikan vokasi menjadi isu penting dalam wacana publik di berbagai belahan dunia. Merujuk banyak literatur ekonomi pendidikan, pokok perdebatan berpangkal pada pemikiran pragmatis dalam pembangunan ekonomi.

Banyak kalangan meyakini, untuk meningkatkan produktivitas bangsa diperlukan pasokan tenaga kerja terampil dan ahli, yang bekerja di sektor- sektor utama penggerak perekonomian nasional. Karena itu, pendidikan vokasi menjadi pilihan praktis guna membekali penduduk usia muda produktif mengenai pengetahuan know-how, suatu kemahiran teknis yang diperlukan di dunia kerja. Pertanyaan pokok Paling kurang ada tiga pertanyaan pokok yang relevan diajukan.

Pertama, apakah pendidikan vokasi merupakan instrumen efektif untuk meningkatkan kompetensi profesional dan keterampilan teknikal tenaga kerja? Kedua, bagaimana desain ideal pendidikan vokasi agar dapat menjadi alternatif bagi siapa saja yang lebih memilih langsung bekerja dan tidak ingin menempuh pendidikan akademik di perguruan tinggi? Ketiga, apakah pendidikan vokasi berperan signifikan dalam upaya mengatasi pengangguran?

Di Indonesia, pendidikan vokasi mengambil tiga bentuk kelembagaan formal dan satu nonformal: (i) sekolah menengah kejuruan (SMK); (ii)  politeknik; (iii) akademi komunitas; dan (iv) balai latihan kerja (BLK).  Mengingat keterbatasan ruang, artikel ini hanya mengulas pendidikan vokasi di SMK saja. Pendidikan vokasi dalam bentuk SMK, yang mulai digalakkan dalam beberapa tahun terakhir, perlu dicermati saksama dan ditimbang kelayakannya berdasarkan analisis dan argumen ilmiah.

Analisis akademik perlu dibuat agar kita terhindar dari kekeliruan dalam mengambil keputusan, terutama ketika muncul pemikiran untuk mengubah proporsi SMK dan SMA masing-masing sebanyak 70 persen dan 30 persen. Dalam konteks pembangunan pendidikan, kebijakan ini perlu dikaji serius dengan pertimbangan matang karena akan berdampak luas. Bukan saja dalam hal investasi untuk pendidikan kejuruan, tetapi juga masa depan lulusan-lulusan SMK yang dikaitkan dengan tingkat kebekerjaan mereka.

Kita dapat memaklumi motivasi para pemangku kepentingan untuk meningkatkan pengetahuan know-how, keahlian, dan keterampilan angkatan kerja melalui pendidikan vokasi. Namun, upaya mengubah proporsi SMK 70 persen dan SMA 30 persen adalah pilihan kebijakan yang kurang tepat. Kebijakan ini juga tak menjawab problem mendasar tenaga kerja, yang dianggap kurang terampil dan tidak punya keahlian.

Menerima plakat usai menjadi pembicara (dok.Unnes)

Berikut sejumlah masalah pokok SMK yang sudah berkarat-menahun, tetapi luput dari perhatian masyarakat dan tidak menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik. Pertama, kemampuan akademik anak-anak SMK tidak sebaik mereka yang menempuh pendidikan di SMA.

Ini ditandai hasil ujian nasional siswa SMK, dengan rata-rata nilai lebih rendah dibandingkan SMA. Data 2014/2015 menunjukkan, perbedaan nilai ujian untuk tiga mata pelajaran pokok sangat mencolok, yaitu: (i) Matematika 48,24 (SMK), 59,72 (SMA-IPA), 56,06 (SMA-IPS); (ii) Bahasa Indonesia 65,45 (SMK), 75,57 (SMA-IPA), 67,48 (SMA-IPS); dan (iii) Bahasa Inggris 55,30 (SMK), 66,34 (SMA-IPA), 59,09 (SMA-IPS).

Fakta ini pula yang menjelaskan mengapa persentase lulusan SMK lebih sedikit diterima di perguruan tinggi, yang mensyaratkan kemampuan akademik tinggi. Pada 1990 capaian akademik siswa SMK tertinggal 2,6 poin dari murid SMA, dan jarak ketertinggalan mereka kian menjauh jadi 6,9 poin pada 2000. Sampai saat ini, kondisi SMK tetap sama, mengingat tak ada ikhtiar peningkatan mutu dan upaya perbaikan tata kelola yang cukup berarti.

Sebenarnya ini bukan gejala khas Indonesia, tetapi sudah jadi fenomena umum di banyak negara di dunia, sebagaimana dikonfirmasi melalui studi-studi yang dilakukan oleh banyak ahli ekonomi pendidikan (George Psacharopoulos 1997; Shyamal Majumdar 2009 & 2011; Jorgen Billetoft 2011).

Kedua, pendidikan vokasi di SMK juga lemah karena kurang didukung sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga berdampak pada kualitas lulusan. Tak heran, lulusan SMK juga dipersepsi kurang baik oleh para pemberi kerja, yang diukur melalui kinerja di tempat kerja. Hasil studi Bank Dunia, Skills for the Labor Market in Indonesia (2012), menunjukkan, tingkat kepuasan pemberi kerja terhadap lulusan SMK tergolong rendah.

Beberapa aspek penting yang dianggap menjadi kelemahan mendasar SMK, yang menyebabkan kualitas lulusannya tidak sebaik mutu lulusan SMA, adalah: (i) ketersediaan fasilitas pendidikan (29 persen); (ii) kualitas pengajaran dan proses pembelajaran (23 persen); (iii) keterampilan khusus (13 persen); (iv) kurikulum (9 persen); dan (v) relevansi (8 persen). Ketiga, aspek keterampilan dan keahlian seharusnya menjadi keunggulan pendidikan vokasi di SMK.

Namun, rancangan kurikulum dan program studi yang mencerminkan kekuatan kedua hal tersebut justru dinilai tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri dan pasar kerja. Karena itu, tidak heran bila tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK justru lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA, masing-masing 9,1 persen dan 8,2 persen (Sakernas-BPS 2015). Selain itu, industri juga lebih menyukai lulusan SMA karena dianggap lebih mumpuni dalam halcognitive skills, meskipun mereka pada mulanya belum memiliki keterampilan khusus dan keahlian teknis.

Dengan cognitive skills lebih tinggi, lulusan SMA justru lebih mampu beradaptasi dengan dunia kerja; dan perusahaan-juga industri-lebih mudah memberi pelatihan sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional dan kemahiran yang diperlukan.  Keempat, pendidikan vokasi di SMK kekurangan guru produktif-dalam istilah standar disebut professional and technical teacher-menurut bidang ilmu dan program studi yang dikembangkan. Tak pelak, banyak guru SMK yang mengajar tak sesuai bidang keahlian yang dimiliki sehingga proses pembelajaran tidak efektif (baca: tidak bermutu).

Bahkan lembaga pendidikan tenaga kependidikan pun tidak mampu memenuhi permintaan SMK untuk mendidik guru-guru produktif yang berkualitas. Namun, kekurangan guru produktif ini sebenarnya dapat diatasi melalui kerja sama dengan industri, yang punya banyak sumber daya (instruktur, pelatih) untuk mengajar di SMK apabila kemitraan antara keduanya terjalin baik. Reformasi menyeluruh Dengan melihat peta masalah di atas, bagi pemerintah tidak ada pilihan lain kecuali melakukan reformasi pendidikan vokasi secara menyeluruh.

Reformasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi, yang dapat ditempuh melalui penyediaan guru-guru berkompeten serta pembangunan sarana-prasarana pendidikan yang memadai. Selain itu, pembaruan kurikulum juga harus dilakukan agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai kebutuhan industri. Pembaruan kurikulum harus memuat tiga hal esensial yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, yaitu: (i) penguatan mata pelajaran pokok (Matematika, sains, bahasa); (ii) peningkatan kecerdasan kognitif (berpikir kritis, daya analisis); dan (iii) peningkatan kecakapan sosial (komunikasi, kepemimpinan dan organisasi, penyelesaian masalah, kerja kelompok).

Pendidikan vokasi punya signifikansi tinggi bila lulusannya terserap di pasar kerja dan diterima di industri. Untuk itu, harus dibangun kemitraan strategis dan kerja sama kelembagaan antara SMK dan industri, terutama melalui program magang. Pendidikan vokasi di SMK tak akan pernah berhasil bila tak ada dukungan dari-dan kerja sama dengan-industri sebagai penyedia pekerjaan bagi lulusan SMK. Selama ini, penyelenggaraan pendidikan vokasi di SMK lebih menekankan dimensi supply side (pasokan lulusan) dan kurang menimbang dimensi demand side (kebutuhan industri).

Penyelenggaraan pendidikan vokasi di belahan dunia mana pun harus terintegrasi dengan industri, terutama dalam konteks pengembangan kurikulum, penyediaan tenaga pengajar, dan penawaran internship programs. Reformasi pendidikan vokasi dengan cakupan dan substansi demikian jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar mengubah proporsi SMK-SMA.

(Penulis adalah Amich Alhumami, Ph.D  Bidang Antropologi Lulusan University Of Sussex, Inggris; Kini Bekerja sebagi Direktur Pendidikan pada Direktorat Pendidikan Kementerian Ppn/Bappenas)

 

Related posts