PPATK Membabi Buta: Kebijakan Blokir Serampangan Menuduh Warga

Gravatar Image
“Blokir Massal ala PPATK: Efektif Menjaga Negara atau Membungkam Warga?”

Ageng Sutrisno

Warga negara Indonesia berdaulat

Dalam senyap, negara kembali membuat gaduh. Kali ini lewat kebijakan PPATK yang akan memblokir rekening dormant rekening yang tidak aktif selama tiga bulan atau lebih. Alasannya: karena banyak rekening “sepi” itu disalahgunakan untuk tindak pidana.

Sekilas terlihat seperti upaya penertiban. Tapi jika dicermati, kebijakan ini lebih tampak seperti kecurigaan sistemik terhadap rakyat, daripada langkah rasional berbasis bukti yang jelas. Bukankah yang seharusnya diblokir adalah rekening dengan aktivitas mencurigakan, bukan yang tidak aktif?

Negara yang Paranoid

Rekening yang tidak digunakan selama tiga bulan dianggap rawan disalahgunakan. Maka solusinya: blokir. Logika ini bukan hanya terbalik, tapi juga berbahaya. Apakah negara mulai menganggap diam sebagai kejahatan? Banyak masyarakat menyimpan uang dalam rekening tanpa transaksi aktif karena alasan yang sah:
• Tabungan jangka panjang
• Dana pendidikan
• Persiapan umrah, pernikahan, atau pensiun
• Warisan yang belum diurus ahli warisnya
• Atau sekadar menabung dan menenangkan diri dari hiruk-pikuk finansial

Lalu apakah semuanya harus dicurigai?

Melihat Negara Lain

Kebijakan pemblokiran rekening warga hanya karena tidak aktif selama tiga bulan, seperti yang diterapkan oleh PPATK, tampaknya merupakan anomali jika dibandingkan dengan praktik di banyak negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, rekening yang tidak aktif selama bertahun-tahun hanya akan diklasifikasikan sebagai unclaimed property atau aset tak diklaim, dan tetap dapat diambil kembali oleh pemiliknya kapan saja. Pemerintah negara bagian menyimpannya tanpa ada pemblokiran paksa. Fokus utama mereka adalah mengawasi transaksi yang mencurigakan, bukan mengejar keheningan rekening.

Di Inggris, aturan serupa berlaku. Rekening yang tidak aktif selama 15 tahun dapat dialihkan ke skema dana dorman untuk kepentingan sosial, namun tidak pernah sekalipun diblokir. Bahkan, negara tetap menjamin bahwa pemilik asli bisa mengklaimnya kembali dengan mudah. Pendekatan ini menunjukkan bahwa negara menghormati hak milik warga dan tidak memperlakukan keheningan finansial sebagai kecurigaan kriminal.

Singapura, yang dikenal sangat ketat dalam urusan keuangan, justru lebih proporsional. Jika sebuah rekening tidak aktif selama 12 bulan, maka statusnya hanya akan diubah menjadi dorman demi alasan keamanan, dan bukan diblokir. Rekening tetap bisa diaktifkan kembali tanpa perlu proses rumit, selama tidak ada indikasi tindak pidana. Pemerintahnya berfokus pada transaksi yang benar-benar mencurigakan, bukan pada warga yang menyimpan uang dalam diam.

Begitu pun Jepang, negara hanya akan memindahkan dana dari rekening dorman ke program pemanfaatan publik setelah 10 tahun tanpa aktivitas. Bahkan setelah itu, pemilik masih bisa mengklaim kembali tanpa kehilangan hak apa pun. Perlindungan terhadap hak pemilik tetap menjadi prioritas, dan negara tidak serta-merta mencurigai semua yang pasif.

Melihat semua ini, Indonesia justru tampak tergesa dan terlalu represif. Negara lain mengedepankan edukasi, transparansi, dan perlindungan hak warga bukan pemblokiran massal yang membabi buta. Jika tujuannya adalah mencegah pencucian uang, maka yang perlu diawasi adalah aliran dana yang mencurigakan, bukan ketenangan mereka yang menabung tanpa suara. Karena diam bukan selalu berarti gelap.

Sayangnya, kenyataan di negeri ini tidak seindah itu. Akun Instagram resmi PPATK (@ppatk_indonesia) dipenuhi suara-suara warganet yang kecewa dan frustrasi. Seorang pengguna bernama @findahp_ mengeluhkan betapa repotnya proses reaktivasi rekening: butuh waktu 9 hari, itu pun tidak instan. Hal itu jelas – jelas menyita tenaga, waktu, dan pikiran. Yang lebih memilukan, kisah @reeyfadian menunjukkan bahwa meski prosedur telah dijalankan, hasil tak kunjung datang: sudah 16 hari berlalu, dan dananya belum bisa dicairkan. Bahkan @indahcia02 lebih parah sudah hampir sebulan menunggu, namun rekeningnya masih saja dibekukan.

Ironisnya, semua keluhan ini berserakan di kolom komentar media sosial, tetapi PPATK justru memilih bungkam. Tak ada jawaban, apalagi penjelasan. Seolah suara rakyat hanyalah derau, bukan bagian dari yang harus didengar. Seolah mereka yang mengadu dianggap salah, bukan sedang menjadi korban kebijakan yang tak berpihak.

Yang Harusnya Diblokir Justru Dibiarkan Hidup

Ini sungguh sangat memalukan. Saat rekening dorman diburu, rekening yang aktif melakukan transaksi judi online, penipuan, atau pencucian uang justru masih beredar dengan leluasa. Ribuan kasus semacam itu muncul tiap bulan, tapi langkah negara selalu terlambat. Ini seperti menilang motor yang parkir terlalu lama, sementara motor yang ngebut lawan arah justru dibiarkan lewat. Hal ini jelas merupakan kebijakan gegabah, yang bikin negara gaduh.

Kritik dari parlemen menggema, bukan sekadar formalitas, tapi jeritan akal sehat yang mulai gerah oleh kebijakan yang tak berdasar hukum kuat. Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyatakan tegas: “Jangan sampai kebijakan ini justru menciptakan ketakutan baru di tengah masyarakat.” Ia menyoroti potensi pelanggaran privasi serta absennya kerangka hukum yang kokoh dalam pelaksanaan pemblokiran rekening. Lebih jauh, M. Nasir Djamil, koleganya sesama anggota Komisi III, menyindir keras logika negara: “Kalau semua rakyat bisa dicurigai tanpa alasan, maka ini bukan penegakan hukum, tapi pelecehan terhadap hak asasi.”

Yang paling disorot: alur keberatan yang ditawarkan PPATK begitu ruwet. Rakyat dipaksa mengisi formulir, menunggu berhari-hari, sementara uang mereka tertahan dan hidup tergantung. Alih-alih menciptakan rasa aman, kebijakan ini justru menanamkan rasa resah, seolah siapa pun bisa tiba-tiba dijerat kecurigaan tanpa dasar. Jika negara terus melanggengkan logika semacam ini, maka perlindungan hukum terhadap harta benda rakyat hanyalah mitos yang kian jauh dari kenyataan.

Jangan Curigai yang Diam, Awasi yang Gelap

Negara seharusnya tidak mengawasi rakyat dengan cara yang sembrono. Privasi adalah hak dasar. Rekening bank bukan ruang terbuka bagi kecurigaan tak berdasar. Jika benar ingin memberantas kejahatan finansial, fokuslah pada:

• Transaksi mencurigakan
• Aliran dana lintas rekening yang tak wajar
• Akun-akun penampung dana ilegal
• Penggunaan rekening untuk aktivitas gelap seperti judi dan narkotika

Bukan dengan membungkam yang diam hanya karena terlalu malas untuk berpikir jernih. Negara tidak boleh menyamar jadi algojo yang mencurigai warganya hanya karena mereka memilih diam. Rekening yang tenang bukan berarti menyimpan bahaya. Bisa jadi, ia sedang menjaga harapan. Dan jika negara tetap ingin memblokir sesuatu, blokirlah logika kebijakan yang gegabah, bukan hak dasar warganya. []

Referensi:
• DBS Bank, “Dormant Account,” DBS, accessed July 28, 2025,
https://www.dbs.com.sg/personal/support/dormant-account.html.
• GOV.UK, “Dormant Assets Scheme Expansion to Benefit Thousands of Charities and Social
Enterprises,” Gov.uk, last modified August 9, 2021,
https://www.gov.uk/government/news/uk-government-announces-major-boost-tocoronavirus-recovery-through-expansion-of-dormant-assets-scheme.
• Investopedia, “Escheat,” Investopedia, accessed July 28, 2025,
https://www.investopedia.com/terms/e/escheat.asp.
• Investopedia, “How to Reclaim Escheated or Unclaimed Property,” Investopedia, accessed
July 28, 2025, https://www.investopedia.com/ask/answers/111115/how-can-you-reclaimescheated-or-unclaimed-property.asp.
• National Association of Unclaimed Property Administrators (NAUPA), “Find and Claim Your
Unclaimed Property,” accessed July 28, 2025, https://unclaimed.org.
• Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), G20 High-Level Principles
on Financial Consumer Protection (Paris: OECD Publishing, 2011),
https://www.oecd.org/finance/Financial-Consumer-Protection-2011.pdf.
• Reclaim Fund Ltd., “About Us,” Reclaim Fund, accessed July 28, 2025,
https://www.reclaimfund.co.uk.
• UK Parliament, Written Evidence from the Dormant Bank and Building Society Accounts Bill
Committee, accessed July 28, 2025,
https://publications.parliament.uk/pa/cm200607/cmselect/cmtreasy/533/533we31.htm.
• Wikipedia, “Lost, Mislaid, and Abandoned Property,” Wikipedia, accessed July 28, 2025,
https://en.wikipedia.org/wiki/Lost,_mislaid,_and_abandoned_property.
• World Bank, The Global Findex Database 2021: Financial Inclusion, Digital Payments, and
Resilience in the Age of COVID-19 (Washington, DC: World Bank, 2022),
https://globalfindex.worldbank.org.

Related posts