
Jabartoday.com-Kuningan— Dalam rangka memperingati Milad ke-1 Masjid Nurul Islam Peduli Karangtawang, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) setempat menggelar Tabligh Akbar pada Ahad, 9 November 2025. Acara ini menghadirkan Ustadz Syubban Rizali Noor, S. Ag., Ketua 2 DKM Masjid Jogokariyan Yogyakarta, yang berbagi kisah inspiratif tentang pengelolaan masjid yang kini menjadi percontohan nasional.
Dalam tausiyahnya, Ustadz Subhan menekankan bahwa kemakmuran masjid tidak diukur dari megahnya bangunan, melainkan dari sejauh mana masjid hadir menjawab kebutuhan jamaah.
“Masjid makmur bukan hanya ramai salat berjamaah, tapi juga mampu memakmurkan warganya. Itulah semangat yang kami pegang di Jogokariyan,” ungkapnya.
Program Berbasis Jamaah
Ustadz Syubban memaparkan berbagai inisiatif sosial dan ekonomi yang digerakkan langsung oleh jamaah Masjid Jogokariyan. Semua program tersebut, katanya, lahir dari semangat saling peduli dan keyakinan bahwa kemakmuran masjid berawal dari kemakmuran jamaahnya.
Salah satu tradisi yang terus dipertahankan adalah kegiatan Subuh berjamaah, di mana setelah salat, jamaah disajikan susu dan roti hangat. Makanan sederhana itu bukan disediakan oleh sponsor, melainkan hasil urunan para pengurus dan jamaah sendiri. Dari kegiatan kecil itu, tumbuh budaya berbagi dan kepedulian sosial. Kini, jamaah yang awalnya sekadar penerima manfaat, justru banyak yang ikut menyumbang dan menyiapkan konsumsi untuk Subuh berikutnya.
Selain itu, Masjid Jogokariyan juga rutin mengadakan “pengajian sembako” — pengajian yang disertai penyaluran paket bahan pokok kepada warga sekitar. Namun, bantuan tersebut bukan sekadar bentuk belas kasihan, melainkan bagian dari pembinaan spiritual. Setiap penerima diwajibkan mengikuti kegiatan masjid dan melaksanakan salat berjamaah secara konsisten.
Program berikutnya adalah pembagian beras untuk 514 keluarga penerima manfaat, yang juga diikat oleh komitmen ibadah berjamaah. Melalui sistem ini, masjid tidak hanya menyalurkan bantuan materi, tetapi juga membangun disiplin spiritual dan rasa kebersamaan di antara warga.
Tak berhenti di aspek sosial, DKM Jogokariyan aktif membina 192 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di lingkungan sekitarnya. Mereka mendapatkan bimbingan usaha, dukungan pemasaran, hingga bantuan permodalan syariah tanpa bunga. Menariknya, syarat utama untuk mengikuti program ini bukan jaminan materi, melainkan keaktifan beribadah di masjid.
“Kami ingin membentuk jamaah yang tidak hanya rajin ke masjid, tapi juga kuat secara ekonomi. Modalnya bukan uang semata, tapi kejujuran, kedisiplinan, dan semangat berjamaah,” ujar Ustadz Syubban .
Dengan pola tersebut, masjid tidak lagi menjadi tempat pasif, tetapi menjadi pusat pembinaan akhlak dan kemandirian ekonomi umat. Para pelaku UMKM binaan pun kini menjadi contoh nyata bagaimana masjid dapat berperan sebagai motor penggerak kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritual
BUMM dan Kemandirian Umat
Masjid Jogokariyan kini dikenal bukan hanya karena kegiatan keagamaannya yang hidup, tetapi juga karena keberhasilannya membangun kemandirian ekonomi umat melalui pembentukan Badan Usaha Milik Masjid (BUMM) — sebuah terobosan yang menjadikan masjid tidak sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat ekonomi berbasis jamaah.
Ustadz Syubban menjelaskan bahwa gagasan BUMM lahir dari kebutuhan untuk memastikan keberlangsungan program sosial tanpa bergantung pada donatur besar. “Kami ingin jamaah mandiri, dan masjid berdiri di atas kaki sendiri,” ujarnya.
Salah satu unit andalan BUMM adalah pabrik roti Jogokariyan, yang setiap hari memproduksi roti berkualitas untuk dipasarkan di lingkungan sekitar dan ke sejumlah toko di Yogyakarta. Dari usaha ini, masjid memperoleh laba bersih sekitar Rp40 juta per bulan. Namun, keuntungan itu tidak masuk ke kas pribadi pengurus, melainkan dikembalikan sepenuhnya untuk program masjid dan bantuan jamaah yang membutuhkan.
Selain pabrik roti, Jogokariyan juga mengelola hotel penginapan syariah, yang menjadi alternatif bagi jamaah luar kota yang datang untuk belajar atau beribadah di sana. Dengan pendapatan sekitar Rp5 juta per bulan, unit ini tak hanya memberikan manfaat finansial, tetapi juga memperkuat citra masjid sebagai ruang ramah bagi tamu dan penuntut ilmu.
Tidak berhenti di sektor jasa dan industri ringan, Masjid Jogokariyan pun memiliki lahan pertanian produktif berupa sawah. Hasil panen padi dari sawah tersebut tidak dijual, melainkan dibagikan secara gratis kepada jamaah dan masyarakat sekitar. Program ini menjadi simbol nyata dari semangat sedekah berkelanjutan — di mana hasil bumi dimanfaatkan untuk menyejahterakan umat.
Lebih jauh, kekuatan ekonomi Jogokariyan juga didukung oleh komunitas donatur global dengan lebih dari 300.000 anggota yang tersebar di berbagai negara. Mereka tergabung dalam grup WhatsApp internasional yang dikelola secara transparan oleh tim DKM. Masing-masing anggota berkomitmen memberikan donasi minimal Rp5.000 per bulan, yang bila dikalkulasikan, menghasilkan dana ratusan juta rupiah setiap bulan. Dana tersebut digunakan untuk pembiayaan kegiatan sosial, beasiswa, bantuan bencana, hingga dakwah lintas daerah.
“Kami ingin menunjukkan bahwa kekuatan jamaah itu luar biasa. Satu orang mungkin hanya menyumbang sedikit, tapi jika bersama-sama, hasilnya besar dan berkah,” tutur Ustadz Syubban.
Melalui sistem ini, BUMM Jogokariyan berhasil menjadi model kemandirian ekonomi berbasis masjid yang terbukti efektif, akuntabel, dan mampu memperkuat rasa memiliki di antara jamaah. Bagi mereka, masjid bukan hanya tempat salat, tetapi juga pusat kehidupan ekonomi, sosial, dan spiritual umat.
Dari Dusun Kiri Jadi Kampung Masjid
Ustadz Subhan turut mengisahkan perjalanan panjang dakwah di Dusun Jogokariyan yang penuh tantangan. Ia menyebut bahwa dua dekade lalu, wilayah tersebut dikenal sebagai basis organisasi LEKRA dan Gerwani, yang membuat masyarakat setempat pada awalnya jauh dari kehidupan keagamaan. “Dulu sangat sulit mengajak orang datang ke masjid. Kami harus turun langsung, mengetuk hati warga satu per satu. Tidak dengan paksaan, tapi dengan kasih sayang dan pelayanan nyata,” ujarnya penuh haru.
Perjuangan itu dilakukan melalui pendekatan sosial, seperti membantu warga yang sakit, menyantuni anak yatim, hingga menyediakan kebutuhan pokok bagi keluarga kurang mampu. Perlahan, masyarakat mulai merasakan bahwa masjid bukan sekadar tempat ibadah, tetapi pusat kepedulian dan solusi bagi permasalahan hidup mereka.
“Begitu masyarakat merasakan manfaatnya, pandangan mereka berubah total. Kini justru mereka berebut ingin terlibat dalam kegiatan masjid. Semua aktivitas warga berpusat di sana — dari pendidikan, ekonomi, sampai sosial kemasyarakatan,” jelas Ustadz Syubban.
Kini, setelah lebih dari 20 tahun, Masjid Jogokariyan menjelma menjadi ikon kebangkitan spiritual dan sosial di Yogyakarta. Masjid ini bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol kebersamaan, kemandirian, dan pemberdayaan umat. Melalui konsep “masjid yang melayani,” Jogokariyan berhasil menumbuhkan semangat gotong royong dan menegaskan bahwa masjid sejatinya adalah jantung kehidupan umat Islam, tempat di mana ibadah, ekonomi, dan sosial saling berkelindan dalam harmoni.
Teladan bagi Masjid Lain
Tokoh masyarakat Karangtawang, Kuningan, yang juga Owner Hisana Group, H. Tatang Suharta, turut menyampaikan apresiasi mendalam terhadap teladan pengelolaan Masjid Jogokariyan. Ia menilai bahwa apa yang dilakukan oleh DKM Jogokariyan di Yogyakarta merupakan bukti nyata bahwa masjid mampu menjadi pusat peradaban umat jika dikelola secara profesional, transparan, dan penuh semangat pelayanan.
“Kami belajar banyak dari Jogokariyan. Masjid tidak hanya sebagai tempat melaksanakan salat, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Di sanalah nilai Islam hidup dalam tindakan nyata,” ungkap H. Tatang.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pengurus masjid, jamaah, pelaku usaha, dan tokoh masyarakat dalam membangun kemandirian ekonomi umat. Menurutnya, jika semangat ini diterapkan di setiap masjid di Kuningan, bukan mustahil daerah tersebut akan menjadi contoh bagi kabupaten lain dalam menggerakkan ekonomi berbasis masjid.
“Jogokariyan telah membuktikan bahwa dari masjid, kita bisa membangun masyarakat yang sejahtera dan berdaya. Semoga semangat ini menular ke seluruh masjid di Kuningan,” tambahnya.
Acara Tabligh Akbar Milad ke-1 Masjid Nurul Islam Peduli Karangtawang pun ditutup dengan doa bersama, dipimpin oleh para ulama dan tokoh agama setempat. Suasana haru dan khidmat menyelimuti jamaah yang hadir, disertai harapan agar semangat “jamaah untuk jamaah” yang diusung Masjid Jogokariyan terus menyebar ke seluruh pelosok negeri. Nilai-nilai gotong royong, kepedulian, dan kemandirian yang lahir dari masjid diharapkan menjadi fondasi bagi lahirnya masyarakat madani yang kuat dan penuh kasih. [FZF]





