
JABARTODAY.COM – BANDUNG Pengusaha kaya asal Bandung, Dadang Suganda mengelak dari tuduhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi pengadaan lahan proyek ruang terbuka hijau (RTH) di DPKAD Kota Bandung.
Dadang mengatakan di dalam harta kekayaannya yang berupa aset tanah nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Itu semua hasil usaha yang dirintis sejak tahun 90an hingga 2010.
Sehingga dalam kaitannya dengan proyek RTH, sama sekali tidak ada bukti yang menguatkan ada indikasi kongkalikong. Termasuk barang bukti berupa dokumen pendukung adanya rekayasa dalam jual beli tanah.
“Saya dituduh merekayasa jual beli tanah RTH. Saya kan waktu waktu itu, diajak dalam proyek RTH, awalnya saya tidak mengerti apa-apa. Pokoknya jual beli tanah saja. Saya tidak tahu itu ada penggelembungan harga. Saya langsung ikut proyek begitu saja,” ucap Dadang, usai sidang lanjutan pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Kamis (6/5/2021).
Menurut Dadang, bahwa seluruh dakwaan yang dituduhkan oleh Penuntut Umum KPK dalam persidangan yang sudah dilalui dianggap tidak benar, terutama yang menyebut dirinya makelar tanah.
“Seluruhnya nggak benar itu. Saya tidak pernah menjadi makelar tanah maupun menyuruh siapa pun juga,” ucap Dadang, ketika dikonfirmasi sejumlah media massa seusai persidangan penyerahan dokumen kekayaannya kepada majelis hakim.
Dadang juga menyatakan, tidak pernah ada selisih kerugian negara. Sebab, jual beli tanah RTH itu langsung antara dirinya dengan Pemkot Bandung.
“Ini yang menjadi tanda tanya besar, mengapa saya di dakwa melakukan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Disamping itu, seperti dalam keterangan saksi ahli juga mempertegas bahwa perkara ini seharusnya diselesaikan secara perdata saja, karena urusannya jual beli dengan istilah uang pengganti kerugian.
“Sampai saat ini saya selaku pengusaha dirugikan terutama hak kekayaan saya di bank tidak bisa digunakan,” ungkapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Dadang, Efran Helmi Juni mengemukakan, perkara ini prematur untuk dibawa ke ranah hukum pidana, karena belum ada kerugian negara yang pasti dan nyata.
“Semua bukti dan para ahli tegas menyatakan perkara ini bukan perkara tipikor, karena apabila dalam proses jual beli tanah terjadi sebuah perbuatan pemalsuan dokumen, maka perbuatan tersebut masuk dalam ketentuan pasal 263 KUHP, bukan serta merta masuk ke dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor,” jelasnya.
Poin pentingnya, tukas Efran, semua bukti pendukung dan lainnya yang dibuka secara transparan di persidangan semua memberikan fakta bahwa perkara ini adalah perkara perdata, bukan pidana atau korupsi.
Selain itu, penasihat hukum terdakwa lainnya, Anwar Djamaludin mengatakan, jika perbuatan kliennya yang didakwakan PU bukan sesuatu yang dilakukan oleh terdakwa,
“Semua alat bukti atau saksi sidang mengatakan jika terdakwa jelas-jelas tudak merugikan keuangan negara, bisa dilihat baik dalam PPJB dan kuasa jual,” terangnya.
Selain itu, tidak ada ditemukan penambahan harta atau kekayaan dari kliennya yang melanggar hukum. Harta kekayaan Dadang murni milik pribadi. Itu terlihat melalui penjualan ke Pemkot yang sudah dilakukan hak pelepasan tanahnya.
Bukti penting lainnya adalah dokumen perjanjian hutang piutang antara Dadang dengan Edi Siswadi serta Herry Nurhayat. Ini dibuktikan dengan aset jaminan dari Edi (2 sertifikat) dan Herry (3 sertifikat).
“Jadi mengapa terdakwa yang disalahkan, itu semua perbuatan pihak lain yang dilakukan secara masif dari mulai penganggaran dan pencairannya, namun untuk terdakwa hal itu juga harus ditentukan lebih dulu, karena belum tentu tindak pidana,” katanya.
Dilanjutkan Anwar, jika dakwaan dikaitkan dengan BPK RI soal verifikasi LHP yang dikeluarkan maka jelas itu sudah terverifikasi.
“Itu sudah terverifikasi, nah kalau dinyatakan prematur maka yang memverifikasi perlu dipertanyakan kredibilitasnya,” pungkasnya. (*)