JabarToday.com, Bandung — Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Jawa Barat (DPRD Jabar) menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar banyak memasukkan program siluman ke dalam rencana kerja 2019.
Selain karena tiba-tiba muncul karena tidak pernah dibahas terlebih dahulu bersama pihak-pihak terkait, saat ini program itu pun banyak yang tidak berjalan.
Menurut anggota DPRD Jabar dari Fraksi Demokrat, Asep Wahyu Wijaya, salah satu program itu adalah penataan Situ Rawa Kalong di Kota Depok.
Dikemukakannya, DPRD dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak pernah membahas proyek yang menelan biaya Rp30 miliar tersebut.
“Ini gila. Ada penataan Situ, tidak pernah diajukan OPD, enggak pernah dibahas, tiba-tiba programnya ada di sana untuk tahun sekarang,” kata Asep kepada wartawan di Bandung, Rabu (9/10/2019).
Selain itu, lanjut Asep, revitalisasi atau penataan daerah aliran sungai itu bukan kewenangan Pemprov Jabar, melainkan kewenangan pemerintah pusat sehingga akan menyalahi aturan jika menggunakan APBD Provinsi Jawa Barat.
“Kalimalang, itu kewenangannya pusat. Bukan kewenangan kita, lho!” tegasnya.
Penataan alun-alun yang menjadi rencana kerja unggulan Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga menuai polemik. Asep mengaku heran dengan tiba-tiba munculnya penataan alun-alun Ciri Mekar di Kabupaten Bogor, padahal tidak pernah dibahas dengan DPRD Jabar.
Lagi pula, imbuh Asep, DPRD bersama Gubernur Jawa Barat sebelumnya, Ahmad Heryawan, sudah sepakat untuk merevitalisasi Alun-Alun Jonggol, bukan Ciri Mekar.
“Itu baru beberapa. Banyak contoh lain (progam) yang tiba-tiba muncul, tidak dibahas dulu,” katanya.
Asep juga mengungkapkan banyak program kerja Pemprov Jabar tahun 2019 yang jalan di tempat. Selain dana yang tidak terserap, ini pun menunjukkan ketidakefektifan dari program kerja tersebut.
“Ternyata programnya banyak yang mogok. Ini dampak tak komunikasi dulu, tidak dibahas dulu,” ujarnya.
Asep juga mempertanyakan keberadaan Tim Akselerasi Pembangunan (TAP) yang dibentuk Emil untuk mempercepat jalannya pembangunan.
“TAP itu tujuannya untuk akselerasi, percepatan. Tapi ternyata banyak yang mogok, anggaran banyak yang idle,” katanya.
Hak Interpelasi
Asep mengemukakan, saat ini banyak anggota DPRD Jabar mengusulkan hak interpelasi (hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah). Dia menyebut Fraksi Demokrat dan Fraksi PPP serius untuk mengajukan rencana tersebut.
“Sekarang sedang menghimpun syarat materi. Materinya lagi dibahas. Kita terus diskusi, pengayaan-pengayaan terus dilakukan. Lalu syarat formil di tatib. Tatib sekarang sedang kita bahas. Minimal 15 orang dari dua fraksi mengajukan interpelasi. Saya haqul yaqin 15 dapat,” katanya.
Asep memastikan pihaknya tidak main-main dalam mengajukan interpelasi. Ini penting agar kebijakan Pemprov Jabar selanjutnya sesuai aturan dan memiliki tujuan yang jelas demi kepentingan masyarakat.
Anggota DPRD Jabar dari Fraksi Golkar, Yod Mintaraga, menegaskan agenda interpelasi diperlukan untuk memperjelas capaian pembangunan yang sudah berjalan.
Ia juga mengimbau Ridwan Kamil agar berkoordinasi terlebih dahulu dengan dewan dalam setiap program kerja yang akan dilakukan.
“Ini hal wajar yang dilakukan lembaga legislatif. DPRD meminta pertanggungjawaban kepada gubernur jika ada kebijakan yang mengganggu dan berdampak luas,” jelasnya.
Keinginan pengajuan hak interpelasi juga didukung Fraksi PKB untuk mempertanyakan kinerja sang gubernur dalam menggulirkan programnya.
“Kita setuju interpelasi dan akan mengajak semua anggota dewan. Banyak hal yang ingin ditanyakan, sehingga banyak hal yang harus dijawab oleh gubernur,” kata anggota DPRD Jabar dari Fraksi PKB, Rahmat Hidayat Djati.
Anggota DPRD Jabar dari Fraksi PKS, Abdul Hadi Wijaya, menilai dinamika satu tahun roda Pemerintahan Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil cenderung terlalu dominan pada tataran sosialisasi kinerja pencitraan.
“Jadi, kita melihat ada beberapa hal yang harus disamakan persepsinya, karena dalam setahun ini masih terlalu banyak di retorika dan publikasi dibandingkan kerjaan yang esensi,” jelasnya.
Selain itu, Ridwan Kamil dianggap mempunyai pola komunikasi yang tidak bagus dan menciptakan situasi tidak harmonis dengan DPRD.
“Sebelumnya komunikasi di antara kami di dewan dan gubernur itu bisa enak, sekarang semacam ada hambatan,” katanya.
Emil dinilai lebih sering menginformasikan programnya ke media dibanding mengomunikasikanya terlebih dahulu ke dewan secara resmi, seperti wacana pemindahan Ibu Kota Jawa Barat. (jt2/we/sm).*