
JABARTODAY.COM – BANDUNG
Selama sekitar 30 tahun, Indonesia menjadi negara pengekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat. Bahkan, ekspor TPT ke negara adi daya itu mencapai 30 persen total ekspor ke berbagai negara, yaitu senilai 4,6 miliar dollar AS.
Namun, beberapa waktu lalu, negara Paman Sam tersebut memperketat impor tekstil. Berdalih perlindungan konsumen, pengetatan itu seiring dengan adanya pemintaan pemerintah tersebut supaya produk-produk TPT yang masuk pasar mereka wajib sesuai standar keamanan dan kesehatan.
Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengemukakan, regulasi mengenai standardisasi produk TPT oleh pemerintah AS itu lebih pada pakaian jadi atau produk garmen. Dijelaskan, regulasi tersebut meliputi keselamatan konsumen dan kesehatan.
“Umpamanya, beberapa jenis pakaian tidur bayi dan matras harus sesuai standar keselamatan negara tersebut. Selain itu, juga berkaitan dengan ketahanan terhadap api, tingkat bahan racun yang terkandung pada produk pun menjadi pertimbangan,” ujar Ade usai Workshop Adaptasi Produk Tekstil “Requirement for Apparel Sold in the United States”, belum lama ini.
Ade menegaskan, pihaknya tidak mengkhawatirkan pemberlakuan regulasi baru tersebut. Indikatornya, lanjut Ade, sejauh ini, AS, sebagai pasar ekspor TPT selama sekitar 30 tahun, belum melakuikan pengembalian produk tersebut kepada Indonesia. “Itu artinya, produk TPT Indonesia mendapat respon positif pasar AS.
Selama ini, belumnya ada pengembalian produk ekpor dari Indonesia merupakan gambaran bahwa produk dari Indonesia dapat diterima pasar. “Standar baru yang diterapkan oleh Amerika aplikasinya untuk Indonesia akan bagus,” kata Ade.
Ade menilai peraturan baru pemerintah AS mengenai produk impor TPT dari Indonesia itu justru dapat berefek positif bagi para pelaku industri nasional komoditi itu. “Bagi Indonesia, aplikasi standardisasi tersebut, kami kira, dapat berefek positif,” ucap Ade. (ADR)