Datang dan Pergi adalah sesuatu yang alamiah dalam hidup William Darmawan. Ia merasakan hidupnya seperti drama tujuh babak. Hidupnya seperti datang dan pergi. Cowok ganteng asal Lampung kelahiran 5 Januari 1984 ini dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat perhatian.
Ibunya bernama Rosanah berdarah Minang, sedang ayahnya bernama Yumansir Darmawan asli Lampung. Willy anak tunggal yang sangat mandiri. Di saat Kuliah, ia sudah belajar mencari duit dari kegemarannya menjadi MC.
“Ibuku selalu mendukung apa yang membuatku baik, membuatku lebih maju,” ucap Willy dengan nada bangga.
Perjalanan hidup membuat kedua orang tuanya mesti hidup terpisah ketika Willy masih kecil. Willy banyak menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama ibunya.
Sesekali ia menemui ayahnya, menebus rasa rindu akan sosok ayah. Sang ayah juga sering telpon untuk sekadar tanya kabar, atau komentar soal penampilan Willy di depan televisi.
Meski Willy hidup terpisah dengan Ayahnya sejak masih belia, namun tak membuat Willy kehilangan kendali. Kondisi itu justru melecutnya untuk maju dan berprestasi.
Sebagai anak, ia sangat menyayangi ibunya. Ia menikmati masa kecil hingga remaja di Bandar Lampung. Selepas SMA, ia bertekad untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Minatnya yang kuat untuk mendalami budaya Jawa, telah membawanya masuk ke jurusan sastra Jawa di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia.
“Budaya Jawa itu sangat menarik, meski rumit dan kompleks,” ucapnya meluncur cepat.
Menurut Willy, belajar budaya Jawa tidak cukup hanya empat tahun. “Rasanya belajar budaya Jawa itu butuh waktu yang relatif panjang, karena cakupannya sangat luas,” jelas penggemar travelling ini.
Pengagum Novelis Anton Chekov ini mengaku bersyukur bisa menekuni sastra Jawa. Dari situ ia justru mengenal drama atau teater. Sejak menjadi mahasiswa, ia memimpin Teater KULA.
Di Universitas terkemuka itu pula ia menulis naskah drama sekaligus bertindak sebagai Sutradara teater KULA. Ada banyak naskah drama yang ia tulis. Namun hanya enam naskah yang berhasil ia pentaskan.
“Dahulu, saya betul-betul total mengeluarkan semua energi dan idealisme untuk seni pertunjukan drama atau teater,” ujar Willy seraya menerawang masa-masa indahnya di Kampus UI Depok.
Ada enam naskah drama yang merupakan karyanya berhasil ia pentaskan. Dua diantaranya yaitu Negeri Boneka dan Akh. Ia juga berhasil menyutradarai naskah penulis terkemuka Putu Wijaya berjudul “Gerr” diatas panggung teater.
Pementasan teater “Negeri Boneka” berhasil menarik minat wartawan Republika untuk mengulas pementasan itu dalam rubrik budaya.
Disamping cekatan menulis naskah drama, dikala senggang ia membunuh waktunya dengan menulis puisi. Beberapa kumpulan puisinya sedang disiapkan menjadi buku.
Kegemarannya menulis puisi membuatnya tergoda untuk menulis lirik lagu. Sebagai presenter dan MC dalam banyak acara, membuat pria yang dikenal ramah ini berhubungan dengan banyak orang. Tokoh terkemuka, politisi, jurnalis, seniman, hingga musisi.
Willy memulai karirnya dibidang kepenyiaran sejak ia kuliah. Sambil kuliah ia menjadi penyiar di Radio DT Universitas Indonesia. Setelah itu ia juga siaran di radio Music City, dan Radio Trijaya FM. Lepas dari Trijaya ia bergabung dengan Jak-TV sebagai presenter hingga sekarang. Di sela-sela kesibukannya di Jak-TV ia menyempatkan diri menjadi MC diberbagai acara off air bersama Luluk Lukmiyati atau Terry Putri.
Masuk dunia Tarik suara
Berkat pergaulannya yang luas itu ternyata menuai berkah tersendiri. Suatu ketika ia bertemu seorang musisi yang bermaksud membuat album. Dari pertemuan itu akhirnya Willy dan sang musisi terikat kerjasama. “Saya sekarang sedang kerjasama buat album, sekarang lagi mixing,” cetusnya seraya tertawa lepas.
Apa Willy akan menjajal dunia tarik suara? “Ah, baru coba-coba kok,”tangkisnya tergelak.
Meski ia mengaku sekadar untuk menyemarakkan industri musik Indonesia, Willy diam-diam sedang menyiapkan album perdananya berjudul “Datang dan Pergi”.
Menurut rencana, album lagu pertamanya ini segera direlease setelah lebaran. Dalam album ini, Willy menggunakan nama WEM. “Itu nama biar lebih gaul,” cetusnya terkekeh. (Farali)