JabarToday.com, Lembang — Warga Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terlibat Perang Tomat, Minggu (13/10/2019).
Teriakan dan gelak tawa mewarnai tomat yang beterbangan tak tentu arah ditemparkan ribuan warga dalam acara yang juga dikenal dengan sebutan “Rempug Tarung Adu Tomat” ini.
Sebanyak satu ton tomat dilempar oleh warga ke segala arah, baik ke sesama peserta maupun ke penonton yang menyaksikan perang tomat dari jarak yang cukup dekat.
Masyarakat dan aparat desa serta pemerintahan lainnya hanya bisa menyaksikan dari jauh. Sesekali mereka bersembunyi takut terkena lemparan. Lemparan tomat busuk datang dari segala penjuru. Lemparannya tak tentu arah. Siapa pun yang terdekat pasti terkena lemparan.
Perang Tomat dibuka dengan serangkaian upacara adat, lalu tokoh adat memberikan aba-aba sebagai pertanda bahwa perang sudah dimulai. Tomat pun bersilewaran dari dua belah kubu sembari diiringi musik tradisional jaipong.
Agar tubuh para peserta tidak terlalu kotor oleh bercakan tomat yang mengenai tubuhnya, mereka pun memakai alat pelindung yang terbuat dari anyaman bambu berupa helm dan tameng, layaknya prajurit yang bertempur di medan merang.
Penonton yang turut ikut serta ada yang memakai jas hujan. Namun, meski sudah menggunakan alat pelindung, tubuh mereka tetap basah kuyung karena saking banyaknya tomat yang dilemparkan.
Penggagas Perang Tomat, Mas Nanu Muda (60), mengatakan, tomat yang digunakan dalam perang ini bukanlah tomat yang bagus atau layak dimakan, terapi tomat yang buruk atau sudah busuk.
“Menggunakan tomat busuk untuk perang tomat ini berkaitan dengan makna ngeruat, yaitu membersihkan diri dari hal yang buruk, atau membuang sifat-sifat busuk yang ada dalam diri kita,” ujarnya.
Tujuan Rempug Tarung Adu Tomat atau Perang Tomat sendiri adalah sebagai ungkapan “membuang sial” bagi segala macam hal yang buruk atau sifat yang tidak baik dalam diri masyarakat maupun hal buruk dengan penyakit tanaman.
“Sehingga filosofis mereka membuang atau saling melemparkan tomat ke kepala yang di tutupi topeng berarti menyimbolkan melempar atau membuang sifat-sifat buruk,” katanya.
Setelah perang selesai, seluruh tomat yang sudah hancur dan berserakan di jalan dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan kompos pupuk tanaman tomat dan sayuran lainnya.
“Dengan adanya perang tomat bisa meningkatkan kebudayaan dan nilai ekonomi bagi masyarakat dan petani di Cikareumbi,” kata Mas Nanu.
Perang Tomat belakangan juga menjadi ajang “aksi demonstrasi” para petani tomat. Ketika panen tomat, seharusnya para petani itu merasa bangga, gembira, dan bersyukur bahwa hasil panen tomat yang melimpah-ruah itu akan menghasilkan keuntungan materi (uang) yang tidak sedikit.
Namun, ternyata hasil panen tersebut tidak dapat dinikmati hasilnya, bahkan cenderung dibiarkan hingga membusuk dan berserakan jatuh begitu saja di hamparan tanah.
Mereka kecewa dengan harga tomat yang jatuh di bawah standar harga biasa dan secara materi tidak menghasilkan keuntungan yang layak untuk dijadikan sumber penghasilan. Kembali modal pun tidak.
Selain harga yang jatuh, juga ongkos angkut tomat dari kebun sampai ke agen penyalur atau bandar begitu mahal dan tidak sesuai dengan modal bibit yang ditanam berikut pupuknya (proses). Melihat pembiaran hasil panen yang seharusnya menjadi keuntungan dan sumber penghasilan bagi petani, malah sebaliknya jauh dari apa yang diharapkan.
Dari kondisi petani yang menderita akibat panen tomat dengan harga yang jatuh serta dibiarkan berserakan di kebun itulah muncul ide untuk membuat kagiatan “Rempug Tarung Adu Tomat” atau “Perang Tomat”. (jt2/ant).*