JABARTODAY.COM, BANDUNG – – Sejumlah perwakilan Masyarakat Arcamanik Kota Bandung melayangkan tuntutan terbuka kepada Pemerintah Kota Bandung, Jumat (16/5/2025). Tuntutan mereka mengenai permasalahan Gedung Serbaguna (GSG) Arcamanik yang kini digunakan sebagai rumah ibadah tetap.
Para warga mendesak pemerintah kota untuk segera menetapkan status quo terhadap bangunan tersebut dan menghentikan seluruh aktivitas eksklusif yang berlangsung di lokasi itu. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk meredam komflik horizontal warga dengan pengguna rumah ibadah.
Beberapa perwakilan warga Arcamanik akhirnya diterima di ruang Kesbangpol Kota Bandung untuk melakukan dialog yang dipimpin oleh Kepala Bidang Kewaspadaan Dini dan Penanganan Konflik Kesbangpol Kota Bandung, Tatang Hamdani. Dalam kesempatan tersebut sejumlah warga menyampaikan aspirasi dan informasi serta masukan untuk Pemkot Bandung dalam menyelesaikan kasus GSG Arcamanik.
Peralihan Fungsi Bangunan yang Dipermasalahkan
Berdasarkan informasi yang disampaikan warga, GSG Arcamanik yang semula dibangun oleh pengembang sebagai bagian dari fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum) telah mengalami perubahan fungsi secara sepihak.
“Data menyebutkan IMB tahun 1988 jelas diperuntukan untuk GSG,” ungkap Enrizal selaku warga Arcamanik.
Ia menambahkan perubahan ini dinilai warga tidak melalui prosedur hukum yang sah dan dilakukan tanpa melibatkan persetujuan masyarakat sekitar. Kondisi ini memicu keresahan karena dianggap telah merampas hak publik atas ruang yang seharusnya bersifat inklusif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Gedung itu harusnya tetap menjadi tempat untuk semua warga sesuai fungsi GSG, bukan dimonopoli satu kelompok saja dan lebih aneh malah difungsikan sebagai rumah ibadah,” ujar
Tiga Landasan Tuntutan Status Quo
Dalam tuntutan terbuka yang disampaikan, warga Arcamanik mengemukakan tiga alasan utama yang menjadi dasar permintaan penetapan status quo untuk GSG tersebut.
1.Pelanggaran Peruntukan Fungsi Bangunan
Warga menegaskan bahwa GSG Arcamanik berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tahun 1988 diperuntukkan sebagai fasilitas sosial dan telah berfungsi demikian selama lebih dari 35 tahun. Penggunaan bangunan sebagai rumah ibadah tetap dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tentang Bangunan Gedung yang secara tegas mewajibkan setiap bangunan digunakan sesuai dengan fungsi dalam izin yang diberikan.
“Ini sudah jelas melanggar ketentuan pemanfaatan bangunan. Tidak bisa sembarangan mengubah fungsi tanpa izin dan prosedur yang benar, apalagi mengubah fungsi menjadi rumah ibadah yang memiliki ijin dan persyaratan khusus” tegas Ahsan
2.Penyalahgunaan Tata Ruang
Masyarakat juga menyoroti letak kawasan GSG yang berada di zona fasilitas umum sesuai dengan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung. Perubahan fungsi menjadi fasilitas keagamaan yang bersifat eksklusif dianggap telah menutup akses bagi warga lainnya dan bertentangan dengan prinsip dasar ruang publik yang seharusnya inklusif dan terbuka untuk semua.
Salah seorang warga juga menyampaikan bahwa penataan ruang kota harus memperhatikan aksesibilitas dan inklusivitas. Menurutnya ketika fasilitas umum berubah menjadi penggunaan eksklusif, maka terjadi ketimpangan dalam pemanfaatan ruang publik.
“Warga sekarang tidak lagi bisa menggunakan untuk olah raga dan kegiatan sosial lainnya. Justru sekarang terjadi konflik yang membuat warga tidak kondusif. Ini yang harusnya menjadi perhatian dan Pemkot Bandung segera mencarikan solusi. Jangan seolah membiarkan terus berlarut,” ungkap salah satu warga.
3.Pengabaian Hak Warga dan Prosedur Hukum
Poin ketiga yang disoroti warga adalah fakta bahwa GSG dibangun sebagai bagian dari kewajiban pengembang dalam penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum). Seharusnya, bangunan tersebut diserahkan kepada pemerintah kota, namun kenyataannya status kepemilikannya telah beralih menjadi milik sebuah yayasan tertentu.
“Sampai saat ini tidak ada bukti berita acara serah terima Prasarana, Sarana, dan Fasilitas Umum (FSU), dan perubahan fungsi dilakukan tanpa partisipasi dan persetujuan warga,” tulis warga dalam pernyataan tuntutannya.
Empat Tuntutan Konkret
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, warga Arcamanik menyampaikan empat tuntutan konkret kepada Pemerintah Kota Bandung:
- Penetapan status quo terhadap GSG Arcamanik hingga ada kejelasan hukum dan fungsi yang sah.
- Penghentian sementara seluruh aktivitas tetap yang bersifat eksklusif di lokasi GSG.
- Pelaksanaan audit hukum dan administrasi atas status lahan, fungsi bangunan, dan proses perubahan peruntukan yang diduga melanggar aturan.
- Jaminan bahwa GSG tetap digunakan sebagai fasilitas umum milik bersama, sebagaimana amanat Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
“Kami tidak meminta sesuatu yang berlebihan. Ini hanya soal mengembalikan fungsi publik dari fasilitas yang memang diperuntukkan untuk kepentingan umum,” ungkap seorang warga yang aktif dalam gerakan ini.
Desakan Kepada Satpol PP
Selain kepada Pemerintah Kota Bandung, warga juga mendesak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung untuk bertindak cepat menghentikan segala bentuk penggunaan ruang publik secara diskriminatif dan menindaklanjuti temuan pelanggaran di lapangan.
“Satpol PP memiliki kewenangan untuk menegakkan Perda. Kami berharap mereka tidak tutup mata atas pelanggaran yang terjadi,” tegas Heru selaku koordinator lapangan.
Kedepankan Prinsip SKB 2 Menteri
Dalam kesempatan tersebut Muhammad Roin selaku perwakilan warga kembali mengingatkan bahwa salah satu fungsi SKB (Surat Keputusan Bersama) 2 Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tentang pendirian rumah ibadah memiliki fungsi utama untuk menjamin kebebasan beragama, memelihara kerukunan antar umat beragama, dan mencegah konflik terkait pendirian rumah ibadah.
“Taat dan patuh pada aturan itu salah satu cara untuk merawat NKRI. Kalau ada warga atau kelompok yang melawan hukum dan mengacak-acak aturan maka bisa dipastikan ia sedang merusak dan mengancam keutuhan NKRI, “ tegasnya.
Roin juga mengingatkan bahwa fungsi SKB 2 Menteri bukan untuk melindungi minoritas. Sebab, sambungnya, jika fungsi melindungi, maka minoritas ini terkesan sedang didzalimi atau teraniaya dalam menjalan agamanya.
“Padahal kenyataan di lapangan mereka bebas beribadah, tidak ada yang melarang, tidak ada yang menghalangi, begitu pun di tempat lain mereka bebas beribah. Tetapi yang di Arcamanik ini yang terjadi penyalahgunaan fungsi bangunan yang tidak sesuai aturan SKB 2 Menteri tersebut. Silakan tempuh dan penuhi persyaratannya,” tegasnya.
Roin juga meminta pengguna GSG agar tidak memutarbalikan fakta dan membuat narasi hoax terkait sikap warga yang melakukan penolakan. Ia kembali menagaskan bahwa penolakan yang dilakukan warga terkait dengan alih fungsi bangunan, bukan aktivitas ibadahnya.
Harapan Terwujudnya Keadilan Ruang Publik
Warga Arcamanik menyatakan keyakinannya bahwa Pemerintah Kota Bandung memiliki komitmen terhadap keadilan ruang, keterbukaan akses fasilitas publik, dan kepastian hukum. Mereka menekankan bahwa penetapan status quo atas GSG Arcamanik bukan hanya soal legalitas, tetapi juga menyangkut keberpihakan pada prinsip hidup bersama dalam keberagaman yang adil.
“Ini ujian bagi komitmen pemerintah kota terhadap pemerataan akses fasilitas publik dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat,” ungkap warga.
Ketika Pembangunan, sambungnya, tidak diikuti dengan pengawasan dan penegakan aturan yang konsisten, maka penyimpangan fungsi seperti ini kerap terjadi. Pemerintah kota harus tegas dalam menangani kasus semacam ini,”
Tanggapan Kesbangpol Kota Bandung
Dalam kesempatan dialog tersebut, Kepala Bidang Kewaspadaan Dini dan Penanganan Konflik Kesbangpol Kota Bandung, Tatang Hamdani menjelaskan bahwa fasilitas GSG Arcamanik tersebut baru diserahkan ke Pemkot Bandung tahun 2009. Dimana sebelumnya atau sejak keluarnya IMB 1988 masih masuk wilayah Kabupaten Bandung.
Tatang juga mengaku bahwa pihak Kesbangpol tidak pernah membuat rekomendasi alih fungsi GSG menjadi rumah ibadah. Pihaknya juga saat ini sedang menelusuri dengan Pemkab Bandung terkait peralihan fungsi dan dari pihak mana keluarnya perijinannya.
“Kami akan mencoba membuka ruang komunikasi lagi dengan pihak pengelola GSG dan warga. Harapannya dapat segera selesaikan dengan musyawarah bersama dan semangat kekeluargaan,”imbuhnya.
Pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait serta akan memberikan masukan pada pimpinan agar tidak salah langkah dalam keputusan sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
“Semua masukan, aspirasi dan informasi dari warga ini akan menjadi bahan kajian kami dan akan kami sampaikan kepada pimpinan,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah Kota Bandung belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan warga tersebut. Sementara itu, masyarakat Arcamanik menyatakan akan terus memperjuangkan hak mereka atas fasilitas umum yang seharusnya dapat diakses dan dimanfaatkan bersama.
Kasus perubahan fungsi GSG Arcamanik ini mencerminkan kompleksitas permasalahan tata ruang kota yang kerap dihadapi berbagai daerah di Indonesia. Kejelasan status hukum, konsistensi penerapan aturan, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi faktor kunci dalam mewujudkan tata kelola ruang kota yang berkeadilan. [ ]